Posted in event, fanfiksi indonesia, oneshoot

[FF Event] Return (Oneshoot)


Return

FF Event – Oneshoot

6d8ba6bcgy1feyp0pozwgj20p00zu10t-picsay


— a story by–
@boiceblossom
Starring by Cnblue’s Jung Yong Hwa and another member.


Genre : Family-Friendship
Rate : General
Disclaim : Semua tokoh dalam FF hanya sebagai penyempurna jalannya cerita tidak bermaksud menyudutkan berbagai pihak. Its just for fun, so happy reading.

—o0o—

“Selalu ada harga untuk suatu hal, tapi sesuatu yang berharga tidak selalu harus dibayar dengan kehilangan.”

***

“Yong hwa-ya ireona!”

Yak, ppali ireona!”

Perlahan tapi pasti suara itu menyergap ke telinga. Tak hanya suaranya yang memekakan kini guncangan di tubuhnya terasa semakin kuat. Tanpa merasa perlu membuka mata untuk memastikan siapa orang yang tega mengganggu mimpinya, Yong hwa tahu itu suara ibunya. Ya, siapa lagi selain ibunya yang berani masuk dan membuat keributan sepagi ini.

“Sampai kapan kau akan tidur? Sampai peter pen tumbuh besar atau sampai Hulk berubah warna pink?”

Di balik selimut Yong hwa menahan tawa mendengar keluhan ibunya. Hulk warna pink? Terdengar menggemaskan, bukan?

“Cepat bangun dan bersiaplah sekolah!”

Yong hwa semakin menarik selimut hingga kepala. Sinar mentari musim panas menyusup dari celah jendela begitu Ny. Jung membuka gorden. Bak vampire yang akan meleleh jika terkena matahari, Yong hwa buru-buru menyembunyikan diri.

“Astaga, Yongie!”

“Ini hari selasa, eomma!” bentak Yong hwa yang kini setengah berbaring.

“Lalu?”

“Aku tidak suka sejarah dan matematika.”

“Lalu?” tanya Ny. Jung lagi tanpa merubah ekspresi wajahnya.

“Sejarah membuatku mengantuk, matematika membuat kepalaku pusing.”

Ny. Jung berkacak pinggang, “Lalu kau akan tidur disini sampai kepalamu pusing besok baru kau ke sekolah karena pelajaran musik yang gurunya cantik itu?”

Seketika Yong hwa tergelak sambil memukuli bantal seperti sedang menonton acara komedi di televisi.

Eommajjang,” puji Yong hwa sambil memamerkan kedua ibu jarinya, “kau tahu Park Shin Hye hallyu star di negeri kita? guru musikku secantik dia, eomma bagaimana mungkin aku tidak menyukainya.”

Ny. Jung mendelik. Sulit dipercaya puteranya bisa memilih mata pelajaran berdasarkan gurunya, “Jangan bilang kau menyukainya?” tuduh Ny. Jung.

“Memangnya kenapa? Apa murid menyukai gurunya termasuk tindakan melawan hukum? Tidak, kan?”

Ny. Jung menghela nafas. Berdebat dengan Yong hwa hanya membuang waktu. Jika Yong hwa sudah bisa menimpali kata-katanya berarti nyawa pria itu sudah terkumpul sempurna, bukan?

“Berhenti bicara omong kosong, cepat bangun atau kau akan menyesal!” ancam Ny. Jung sebelum keluar dari kamar Yong hwa.

“Ya ampun eomma, kenapa kau tidak pernah bisa memahamiku.” alih-alih bangkit Yong hwa justru kembali ambruk. Namun kelopak matanya enggan menutup kembali hingga mau tak mau ia harus bangun. Menyambar handuk lalu mandi dengan perasaan terpaksa.

Ya, begitulah suasana pagi di kediaman Ny. Jung. Keributan kerap terjadi tak terkecuali hari minggu. Kebiasaan buruk Yong hwa yang tidak bisa bangun pagi seakan menjadi teror bagi kedamaian hidup Ny. Jung. Perlu lebih dari lima kali memanggil namanya untuk membangunkan Yong hwa. Semua cara sudah Ny. Jung lakukan kecuali satu; menyiramnya dengan air dingin. Mungkin sesekali cara itu patut dicoba.

Lalu, bagaimana dengan sore hari? Tidak lebih baik. Semuanya sama saja. Entahlah, mungkin ibu dan anak itu di ciptakan untuk saling bersitegang seperti kutub magnet yang bertolak belakang tak pernah ada titik temu. Ny. Jung mengerti, puteranya kini berusia 18 tahun yang sedang mencari jati diri, tapi bukankah keterlaluan jika membiarkannya melakukan semua yang dia sukai. Hidup sebagai single parent sudah cukup sulit seharusnya Yong hwa tidak perlu menambah beban dengan sulit diatur.

Seperti yang sudah-sudah, hari ini Yong hwa pulang terlambat dari jam pulang sekolah. Tentu bukan karena Yong hwa membantu security mengunci pintu kelas, tapi karena sesuatu yang ia kerjakan bersama teman-temannya.

“Evaluasi bulan ini sudah keluar ‘kan? Ibu ingin lihat.”

“Ada di tas. Aku ambilkan setelah makan.” jawab Yong hwa yang tampak seurius menyantap makan malamnya.

Tanpa sepengetahuan Yong hwa, Ny. jung naik ke lantai dua ke kamar Yong hwa. Ia mengambil selembar kertas di bagian depan tas Yong hwa.

Ige mwoya?” Ny. Jung melempar kertas itu ke atas meja makan. Seketika Yong hwa berhenti mengunyah. Nyaris saja mendengus kesal. Seingatnya nilai evaluasi bulan ini tidak mengecewakan. Semuanya diatas rata-rata kecuali sejarah dan matematika. Tapi kekesalan Yong hwa berubah menjadi panik begitu menyadari kertas yang dimaksud Ny. Jung adalah surat skorsing dari pihak sekolah.

Sial!

“Kau di skor dari hari senin kemarin, lalu tadi kau pergi kemana?” selidik Ny. Jung, “kenapa kau di skor? kau membuat onar lagi?”

Yong hwa membasahi bibir. Takut-takut membalas tatapan ibunya, “Ini hanya salah faham, aku menolong temanku yang di bully kakak senior-”

“Kau menolong dengan memukulnya?” sela Ny. Jung yang tak habis pikir dengan tingkah puteranya itu, “kau pikir kau ini superhero, huh?”

Ny. Jung terus berbicara tanpa memberi Yong hwa kesempatan untuk sekedar menepis satu-dua kalimatnya. Hal sepertti ini bukan pertama kalinya terjadi. Ny. Jung sudah sering menerima surat peringatan dari pihak sekolah karena ulah Yong hwa, tapi ia tetap terkejut jika Yong hwa sampai diskor.

Eomma sudah bilang ‘kan? berhenti bergaul dengan Jung shin dan Jong hyun mereka tidak baik untukmu.”

Yong hwa berusaha menenangkan diri meski sebenarnya ia tidak suka jika ibunya membahas pertemannya dengan Jung shin dan Jong hyun. Memangnya apa yang mereka lakukan? Hanya bermain music di jalan Hongdae, apa itu salah? Yong hwa merasa menemukan dirinya setiap kali bersama mereka tidak seperti dengan Min hyuk yang menggilai buku.

Eomma ayolah, aku hanya bermain gitar dan bernyanyi dengan mereka, tidak lebih.”

“Tapi sekarang bukan waktumu mencari uang, yang perlu kau lakukan hanya belajar dan belajar, kau satu-satunya harapan eomma apa kau mengerti itu?”

Yong hwa menghela nafas, “Eomma ingin aku memakai kaca mata bulat, dasi kupu-kupu dan suspender lalu kemana-mana membawa buku seperti Min hyuk, begitu? Demi Tuhan, itu bukan gayaku!”

Yong hwa menegak habis air minumnya dengan satu tarikan nafas. Berlari ke kamar, menyambar mantel dan kunci mobil. Ia merasa sudah tidak tahan lagi dengan omelan ibunya.

“Ya memang Min hyuk yang terbaik. Dia tampan, cerdas-”

“…dan tidak pernah berteriak pada ibunya.” lanjut Yong hwa dengan menggerutu. Lihat, dia bahkan sudah hafal apa yang akan ibunya katakan karena Ny. Jung sudah terlalu sering menyebut nama Min hyuk setiap kali mereka bertengkar.

Geurae, pergilah! Pergi kemana pun kau suka!”

Yong hwa tetap melanjutkan langkahnya keluar rumah. Tak memperdulikan teriakan Ny. Jung yang bertanya kemana Yong hwa akan pergi. Dengan cepat Yong hwa menginjak pedal gas memacu sedan merahnya ke jalanan Seoul yang mulai di hiasi lampu warna-warni. Sepanjang perjalanan Yong hwa menggerutu tak terima dengan perkataan buruk ibunya tentang Jung shin dan Jong hyun. Ia tidak benar-benar merasa dua pria bermarga Lee itu membawa pengaruh buruk untuknya.

Yong hwa merogoh saku mantel bermaksud menghubungi Jung Shin. Ia harus punya tempat untuk tidur malam ini.

“Kita bertemu di restoran dekat rumahmu, aku ingin bicara.”

Yong hwa memutus sambungan telepon begitu Jung shin mengatakan oke. Yong hwa tiba lebih dulu, duduk di salah satu sudut restoran. Jung shin datang lima belas menit kemudian.

“Astaga, kau lama sekali!”

Mian, kau tiba-tiba menelepon dan mengajak bertemu. Ada apa?” Jung shin menarik kursi lalu duduk di depan Yong hwa.

“Kita makan dulu baru bicara.”

“Ibumu tahu soal skorsing itu ‘kan?”

Ajaib. Yong hwa nyaris tersedak mendengar pertanyaan Jung shin yang sok tahu tapi sial tebakannya tepat.

Yong hwa mengedikkan bahu. Cukup untuk menjawab pertanyaan Jung shin barusan. Saat ini ia benar-benar harus mengisi perutnya.

“Lalu kau bilang apa?”

“Aku katakan yang sebenarnya tapi ibuku tidak terima.” ujarnya acuh sambil melahap makanan di depannya, “kau tahu apa yang membuatku marah? ibuku melarang kita berteman lagi. Itu sama saja memaksaku memilih makan atau bernafas.”

Tanpa alasan yang tidak dimengerti Yong hwa, Jung shin tiba-tiba saja tergelak seolah dia baru saja mendengar lelucon paling konyol selama hidupnya.

“Kau tahu, kau seperti seseorang yang cintanya tidak direstui orang tua lalu melarikan diri bersama wanita yang kau cintai itu,” ungkap Jung shin dengan sisa tawanya, “sudahlah sebaiknya kau pulang, ibumu pasti khawatir.”

Yong hwa tak menggubris. Ia memanggil seorang pelayan restoran untuk membayar makanannya.

“Maaf kartunya ditolak.” ujar si pelayan saat menggesek kartu kredit milik Yong hwa.

Yong hwa mengernyit, “Apa maksudmu?”

“Aku tidak tahu, sepertinya sudah dibekukan.”

Yong hwa mendesah. Mengambil kartu lain dari dompetnya tapi hasilnya tetap sama. Ia juga tidak membawa uang tunai. Ah bukan, lebih tepatnya tidak punya.

“Aku tidak bawa dompet.” Jung shin tiba-tiba berujar menjawab tatapan Yong hwa yang mengisyaratkan minta bantuan.

Yong hwa merasa tengkuknya mendadak sakit. Seharusnya dia bisa memahami ibunya lebih baik. Tentu saja ibunya tidak akan diam saja.

“Ya sudah kalau begitu ikut aku!”

“Kemana?” tanya Yong hwa dan Jung shin kompak.

“Setidaknya kalian bisa mencuci piring ‘kan?”

Mwo?”

Yong hwa dan Jung shin saling bertatapan. Tak yakin dengan apa yang baru saja mereka dengar. Mencuci piring untuk membayar makanan? Astaga, yang benar saja.

“Tunggu apa lagi? Ppali!”

Yong hwa bangkit tanpa tenanga. Makanan yang baru saja masuk ke perutnya seakan hilang entah kemana. Sungguh, ia mengutuk tatapan ketus si pelayan pria yang memperlakukannya seperti seseorang yang tidak punya uang.

“Tunggu,” Jung shin tiba-tiba berujar, “aku tidak ikut makan jadi aku tidak perlu cuci piring ‘kan?”

Seketika mata Yong hwa membulat. Ia fikir Jung shin akan menyelamatkannya dan mengatakan tidak membawa dompet hanya omong kosong, tapi apa yang pria itu katakan tadi?

Yak, neo!”

“Aku tidak ikut makan ‘kan?” ujar Jung shin kedua kalinya.

“Terserah saja, yang penting ada seseorang yang bertanggung jawab.” timpal si pelayan.

Geurae, fighting. Sampai jumpa besok.” Jung shin melambaikan tangan berpamitan. Berjalan keluar restoran tanpa merasa iba dengan yang terjadi pada Yong hwa.

Apa boleh buat. Yong hwa hanya bisa merutuk atas sikap Jung shin yang terkesan tidak peduli.

***

Pria bermantel hitam itu menghela nafas melihat jarum jam di pergelangan tangan. Hari sudah berubah gelap ketika ia keluar restoran. Wajahnya lelah, kuyu tanpa semangat. Bibirnya tak berhenti menggerutu jika ingat apa yang terjadi padanya. Menghabiskan dua jam waktunya untuk mencuci piring demi makan malam. Sungguh luar biasa Yong hwa bisa melakukannya.

“Kalau tahu begini aku pasti makan dulu sebelum melarikan diri. Dasar kau, pembangkang bodoh!”

Yong hwa mengendarai mobilnya menuju rumah Jong hyun. Rasanya tidak mungkin datang ke rumah Jung shin setelah apa yang dilakukan pria itu padanya. Teman macam apa yang sampai hati membiarkan temannya menderita? Duh, rasanya Yong hwa bisa gila jika terus mengingat hal itu.

Sesampainya di rumah Jong hyun, Yong hwa disambut security. Pria itu membiarkan Yong hwa masuk tanpa bertanya meski Yong hwa datang di atas jam 09.00 malam. Ya, tentu saja itu karena Yong hwa sering keluar masuk rumah Jong hyun.

“Tn. Lee sedang di taman belakang dengan temannya,” ujar seorang ahjumma ketika Yong hwa bertanya keberadaan Jong hyun.

Yong hwa tak memikirkan apa pun. Langkahnya ringan melewati ruang demi ruangan. Tapi siapa sangka, teman yang dimaksud wanita paruh baya itu adalah seorang gadis yang ia sukai di sekolah. Teman dan gadis incarannya itu sedang duduk begitu dekat hingga tidak ada celah diantara mereka. Tawa mereka begitu lebar. Sosok perempuan di samping Jong hyun terlihat manja dan sesekali menaruh tangannya di lengan Jong hyun.

“Sepertinya aku datang di waktu yang salah.” ujar Yong hwa setengah berteriak. Dua kepala itu kompak menoleh ke titik yang sama. Menjadikan Yong hwa satu-satunya objek disana. Keterkejutan bisa dibaca jelas dari raut wajah Jong hyun. Pandangannya berpindah-pindah dari wajah Yong hwa ke wajah cantik di depannya.

“Yong hwa-ya, sejak kapan kau….” Jong hyun terbata. Ia benar-benar menghampiri Yong hwa dengan keterkejutan yang masih tersisa.

Yong hwa menyeringai. Jika dipikir kembali, apa yang dilakukan Jung shin belum ada apa-apanya dengan yang dilakukan Jong hyun.

“Sebenarnya aku ingin mengatakannya padamu, tapi-”

“Apa yang kulihat sudah lebih dari sekedar penjelasan. Selamat, semoga kalian bahagia.” Yong hwa memutar haluan. Cepat-cepat keluar rumah Jong hyun. Di belakangnya, Jong hyun menyusul berusaha memberi penjelasan.

“Apa lagi? Apa aku harus membawa bunga juga?”

“Tidak begitu. Aku tahu kau menyukainya, tapi dia menyukaiku.”

Yong hwa tertawa hambar. Sungguh lelucon yang tidak lucu. Jong hyun bicara seolah dia itu Brad pit yang digilai wanita.

Tanpa berpikir panjang Yong kembali menginjak pedal gas. Mobil merah Yong hwa meluncur dari halaman rumah Jong hyun. Kemana lagi ia harus pergi?

Yong hwa men-scroll nama-nama di kontak ponsel. Sesaat ia terdiam. Tersadar ia tak punya banyak teman yang bisa diandalkan selain Jung shin dan Jong hyun. Tapi lihat apa yang sudah mereka lakukan? Kedua pria itu sudah menolak membantu sebelum ia mengutarakannya. Yong hwa menghela nafas. Diam-diam hatinya membenarkan apa yang dikatakan ibunya.

Jari Yong hwa berhenti di salah satu kontak dengan nama Kang Min hyuk. Ragu-ragu untuk menghubunginya. Haruskah meminta bantuan pada seseorang yang sudah kau perlakukan dengan buruk? Ya, Min hyuk bukan orang lain. Dia teman sejak SMP, tapi hubungan mereka tak berjalan baik setelah masuk SMA. Berbeda style, itu yang selalu Yong hwa katakan.

“Ah sudahlah lupakan. Dimana urat malumu, Jung Yong Hwa?”

Dengan terpaksa Yong hwa memasukan kembali ponselnya ke dalam saku. Hal membingungkan seperti ini tentu tidak akan terjadi jika ia punya uang. Yong hwa bisa menginap di hotel atau penginapan. Tidak akan terlunta di jalanan seperti ini.

Di tengah kekalutannya mendadak ia merasa ada yang aneh dengan mobilnya. Mobilnya tiba-tiba berhenti di tengah lintasan.

Andwae? Ada apa ini? Apa bensinnya habis? Astaga…” kali kesekian Yong hwa menghela nafas panjang. Sungguh hari yang sempurna.

“Yong hwa pabo…” rutuknya sambil membenturkan kening ke stir hingga menghasilkan suara klakson panjang. Sempurna sudah penderitaannya hari ini. Melarikan diri tanpa uang sepeser pun, mencuci piring demi mengisi perut, ditikam teman belum lagi mobil yang mendadak mogok.

“Ah, Tuhan pasti sedang menghukumku.”

Setelah berkutat dengan pikirannya pada akhirnya Yong hwa menelepon Min hyuk dan melupakan harga dirinya. Setidaknya ia harus tetap hidup sampai besok, bukan?

Suara Min hyuk langsung terdengar begitu telepon tersambung. Suara khasnya menyapa riang.

“Kau dimana? Apa kita bisa bertemu?”

“….”

“Mwo? Kau di rumah sakit? Ah ya sudah aku kesana. Aku telepon lagi kalau sudah sampai, ya.”

Yong hwa memutus sambungan telepon dan segera memeriksa isi dompet. Setidaknya ia butuh 50.000 untuk ongkos taksi. Namun nihil. Hanya kekecewaan yang didapat Yong hwa.

“Aku bahkan tidak punya e-money.”

Yong hwa keluar mobil. Meninggalkan  mobilnya di pinggir jalan lalu menyetop taksi. Berharap Min hyuk berbaik hati meminjamkannya uang untuk ongkos taksi. Ya, apa boleh buat? Lagi-lagi Yong hwa menyingkirkan harga dirinya.

Min hyuk sudah berdiri di depan gerbang rumah sakit bahkan sebelum Yong hwa menghubunginya. Entah sejak kapan, tapi senyum kelegaan terpancar begitu sepasang mata memanjang di balik kaca matanya menangkap sosok Yong hwa turun dari taksi.

“Kau punya uang 40.000? Uangku kurang.” ucap Yong hwa tanpa basa-basi.

Tanpa merasa perlu bertanya Min hyuk memberi Yong hwa 50.000 namun dengan tidak tahu malunya Yong hwa memberikan 50.000 itu pada sopir taksi padahal yang ia butuhkan hanya 40.000.

“Ambil saja kembaliannya.”

Min hyuk hanya bisa melongo menyaksikan tingkah Yong hwa barusan. Pria itu bersikap seolah-olah uang itu miliknya.

“Apa?”

Ani,” jawab Min hyuk seraya berlalu. Yong hwa mengekor masuk ke gedung rumah sakit. Bisa jadi malam ini ia akan tidur disini.

“Kenapa kau disini? Siapa yang sakit?”

“Ibuku.”

Neo eomma? Sakit apa?” belum sempat Min hyuk menjawab,Yong hwa sudah kembali bicara, “sudah, jangan khawatir. Ini rumah sakit terbaik di Seoul, ibumu pasti baik-baik saja.”

Min hyuk menghela nafas, “Kuharap begitu.” jawabnya pelan sambil menaikan kaca matanya yang turun. Jika boleh jujur, Min hyuk terlihat culun dengan kaca mata bulat itu, tapi beruntung dia punya wajah tampan. Setidaknya ia terliat seperti si penyihir laki-laki yang digambarkan J.K Rowling di bukunya yang terkenal itu. Entah seperti apa jika Yong hwa yang mengenakannya.

“Lewat sini,” ujar Min hyuk menunjukkan jalan saat mereka tiba di persimpangan.

Yong hwa terdiam. Bukankah ruang rawat inap ke sebelah kiri?

“Ibuku di ICU,” jawab Min hyuk yang seolah tahu apa yang dipikirkan Yong hwa.

Yong hwa masih terdiam. Kakinya terasa berat untuk melangkah. Hatinya mendadak resah. Ia bahkan tidak sadar ketika Min hyuk memberinya baju steril sebelum masuk ruang ICU.

Yong hwa mendadak kehilangan kata melihat Ny. Kang terkujur lemah di atas ranjang rumah sakit. Ada banyak alat terpasang di tubuh ringkihnya. Tulisan hijau di mesin medis berdengking berirama bak lolongan serigala di tengah malam. Yong hwa menatapnya prihatin. Kehilangan kata. Ny. Kang yang ia kenal ceria kini terlihat datar tanpa ekspresi. Di sisinya, Min hyuk terlihat tegar meski Yong hwa bisa melihat sisa tangis tanpa suara di sudut matanya.

“Dokter bilang ibuku overdosis obat penenang,”Min hyuk mulai bersuara. Sesekali ia menghela nafas sebelum melanjutkan ceritanya. Hatinya sedikit tak kuasa menjabarkan kondisi ibunya, “semenjak ayahku meninggal 6 bulan lalu ibuku sering sakit-sakitan. Sulit tidur, mudah stress, ah aku tidak tahu ibuku serapuh ini. Kupikir ibuku akan kuat seperti ibumu yang-”

Arra,” sela Yong hwa cepat.

“Apa kau bertengkar dengan ibumu lagi?”

Lagi? Yong hwa tersenyum gamang. Benar, lagi. Ini bukan yang pertama kalinya mereka bertengkar bahkan Min hyuk saja tahu itu.

“Ibuku terlalu berharap padaku. Apa yang kusukai ternyata tidak disukai ibuku, tapi apa yang kubenci ternyata ibuku menyukainya. Dia selalu mengkritik apa saja yang kulakukan, tidak boleh begini tidak boleh begitu, jangan begini jangan begitu-”

“Aku bahkan merindukan omelannya sekarang.”

Kalimat Min hyuk barusan seketika saja membungkam mulut Yong hwa. Ia hanya tertegun mendengar kalimat Min hyuk yang diam-diam menohok ulu hatinya.

“….itu lebih baik daripada melihatnya terbaring seperti ini. Kita hanya punya ibu begitu juga sebaliknya. Cobalah berpikir dari sisi ibumu, maka kau akan mengerti semua yang dilakukannya hanya untuk kebaikanmu,” pandangan Min hyuk beralih pada Yong hwa yang berdiri di ujung ranjang, “kau tidak akan tahu kapan kebersamaan itu akan berakhir.”

Yong hwa menelan ludah. Kehilangan kata untuk menimpali perkataan Min hyuk.

“Kata-katamu membuatku sakit perut.” bohong Yong hwa. Ia lantas keluar menyembunyikan wajahnya yang entah seperti apa. Yong hwa tidak merasa sakit hati, sebaliknya ia tersentuh. Kalimat Min hyuk terjebak di bagian hatinya yang lain.

Yong hwa menghela nafas. Mendadak bayangan ibunya menari di pelupuk mata. Semua kejadian tadi pagi kembali terulang tanpa ada satu pun yang terlewat. Perkataan ibunya terus berdenging bak dengung mesin kereta api yang tak hentinya berbunyi dalam kepala. Yong hwa memutuskan menelepon ibunya, tapi saat ia hendak menekan tombol on ponselnya tidak menyala karena kehabisan daya. Yong hwa hanya bisa mendesah kecewa. Duduk bersandar di kursi besi depan ruangan.

Eomma, kau sedang apa?”

Jarum jam sudah lewat tengah malam mungkin saja Ny. Jung sudah tidur nyenyak di ranjangnya yang empuk. Tapi apakah seorang ibu bisa tidur saat putera semata wayangnya melarikan diri?

“Kau sudah telepon ibumu?”

Yong hwa terperanjat mendengar suara Min hyuk yang tiba-tiba. Entah sejak kapan pria itu berdiri di dekatnya.

“Ponselku mati,” ujar Yong hwa sambil memamerkan ponselnya.

Min hyuk tersenyum lalu duduk di samping Yong hwa, “Pakai ponselku saja.”

Yong hwa mengambilnya setelah beberapa menit tampak ragu-ragu. Segera memasukan nomor di papan dial. +82011 hanya angka itu yang diingat Yong hwa. Sebelah hatinya mengutuk dirinya sendiri yang tak hafal nomor ponsel ibunya sendiri.

“Ada apa?” Min hyuk mengerutkan kening melihat Yong hwa mengembalikan ponselnya.

“Aku tidak ingat nomornya,” Yong hwa tersenyum miris. Tersadar bahwa ia tidak banyak tahu tentang ibunya.

Langit-langit rumah sakit mendadak lengang. Dua remaja laki-laki itu saling diam dan larut dalam dunianya sendiri namun memikirkan orang yang sama; ibu.

“Mau kopi?”

“Aku tidak punya uang.”

Min hyuk tergelak mendengar jawaban spontan Yong hwa.

“Kopi disini gratis.”

Jinja?” mata Yong hwa seketika berbinar. Seharusnya Min hyuk mengatakannya lebih awal kalau perlu menjadikannya tofik hangat, “Kalau begitu aku mau dua cup.”

Lagi-lagi pria dengan wajah menyenangkan itu tertawa hangat, “Kau harus bayar untuk kopi berikutnya.”

“Dasar, kalau begitu satu saja.”

Min hyuk pergi masih dengan tawanya yang tersisa.

Benar, seharusnya seperti inilah persahabatan. Menjadi kekuatan saat kau jatuh ke dasar, menjadi larik cahaya saat kau tersesat jalan pulang. Seandainya saja Jung shin dan Jong hyun tahu alasannya melarikan diri apakah mereka akan melakukan hal yang sama? Entahlah. Setidaknya Yong hwa tahu, sahabat terbaik adalah sahabat masa kecil. Tahun-tahun berganti, orang baru silih datang berganti tapi teman lama tak pernah pergi. Kau tidak perlu mencari karena dia yang akkan lebih dulu menemukanmu. Mungkin, jika kakak atau adik saudara yang dipilih Tuhan, maka sahabat masa kecil ibarat saudara yang dipilih oleh diri sendiri. Sejenak meramang masa lalu membuat Yong hwa tahu bahwa sahabat adalah bgian terindah dari masa kecilnya.

“Ini,” Min hyuk datang menyodorkan kopi. Seketika lamunan Yong hwa terhenti, “hati-hati masih panas.”

Gomawo.”

Min hyuk mengangguk. Menyesap kopi miliknya.

“Terima kasih sudah menolongku kemarin, dan maaf karena aku kau jadi di skor. Kau bertengkar dengan ibumu karena itu ‘kan?” bayangan Min hyuk melayang pada kenangan tiga hari lalu di rooftop sekolah saat kakak kelas memukulinya hanya karena ia tidak sengaja menumpahkan kopi di seragamnya. Sungguh, ia bersyukur saat itu Yong hwa datang. Jika tidak wajahnya mungkin sudah berubah merah darah.

“Tidak masalah, kita kan teman.”

Min hyuk terpaku. Tangannya diam-diam menyeka air di sudut mata. Sungguh tak menduga Yong hwa akan menjawab dengan kalimat seindah itu. Min hyuk pikir selama ini Yong hwa membencinya karena Ny. Jung selalu membandingkan mereka. Ia pikir Yong hwa sudah melupakan pertemanannya setelah mengenal Jung shin dan Jong hyun yang tentu saja lebih menyenangkan diajak berteman daripada dengannya yang kemana pun membawa buku. Disadari atau tidak jawaban Yong hwa menyentuh perasaannya.

“Kau mau membantuku sekali lagi?”

Eoh, katakanlah!” jawab Min hyuk tanpa ragu seolah siap dengan apa yang akan dikatakan Yong hwa.

“Aku ingin pulang sebelum ibuku pergi kerja, tapi…”

Kalimat Yong hwa terhenti begitu melihat Min hyuk merogoh saku celana dan sibuk memeriksa isi dompetnya lantas memberi Yong hwa sejumlah uang.

Ajaib. Bagaimana pria itu selalu bisa menebak apa yang akan dia katakan. Apa kaca mata itu bisa menembus kepala lawan bicaranya?

“Aku pinjam e-money saja, aku bisa naik bus.” tolak Yong hwa halus.

Tapi Min hyuk menggeleng, “Kau tidak bisa naik bus. Dari halte ke rumahmu cukup jauh, naik taksi saja dan minta antar sampai rumah.”

Yong hwa tertegun. Sepasang matanya ikut berkaca-kaca.

“Kau bilang kita teman ‘kan? Ayo pulanglah dan berbaikan dengan ibumu.”

“Aku sungguh berterima kasih, semoga ibumu cepat sembuh dan kalian kembali bersama.” ucap Yong hwa tulus. Senyum yang tersungging di wajah tampannya begitu meneduhkan.

“Jangan lupa ambil uang kembalianya.” teriak Min hyuk membuat Yong hwa berbalik dan tertawa. Yong hwa menjawab dengan menyatukan ujung jari telenjuk dan ibu jarinya membentuk tanda ok.

***

 

“Selamat pagi, eomma.”

Ny. Jung terkejut melihat keberadaan Yong hwa yang tengah sibuk menyiapkan sarapan. Tak ada wajah kantuk yang biasa menghiasi wajahnya, kini justru terlihat segar dengan rambut yang disisir rapi. Ny. Jung mengerjap beberapa kali demi meyakinkan bahwa ia tak salah lihat.

“Kenapa melihatku begitu? Aku Jung Yong Hwa, puteramu yang tampan itu.”

Ny. Jung tergelak. Rasanya sedikit aneh mendengar lelucon dari mulut yang suka membantah itu.

“Apa kau mabuk?”

“Ibu bahkan melarangku minum-minum sebelum lulus SMA.” Yong hwa menarik lengan ibunya agar segera duduk dan menikmati sarapan yang dia siapkan. Yong hwa tidak yakin dengan rasanya, tapi ia berani jamin makanan itu tidak akan membuat ibunya sakit perut.

“Apa ada sesuatu yang kau inginkan?” tebak Ny. Jung.

Yong hwa menggeleng, “Tidak,”

“Jangan bohong, kau sedang bicara dengan ibumu. Kemarin kau marah-marah dan sekarang lihat apa yang kau lakukan? Malaikat mana yang tersesat datang padamu? Ini salah satu trikmu ‘kan?”

Yong hwa tersenyum. Benar. Tak ada satu pun yang bisa ia sembunyikan dari ibunya. Selalu ada celah bahkan dengan cara yang tak pernah dipikirkan sebelumnya. Entah karena ibunya terlalu pintar atau dia yang tak pandai berbohong. Yong hwa menatap lekat Ny. Jung yang menuntut jawaban. Ada gurat lelah diantara kerut halus di sudut matanya. Sorot matanya bersinar penuh keteduhan. Ada banyak hal yang tidak dilihat Yong hwa sebelumnya. Duh, ia lupa bahwa wanita tangguh di depannyalah yang memperjuangkan hidup dan kehidupannya selama ini. Berperan sebagai ibu dan ayah di waktu yang bersamaan. Kadang lembut khas seorang ibu, terkadang setangguh ayah. Tuhan, balasan apa yang pantas diberikan untuk seseorang yang luar biasa ini? Gelar seperti apa yang layak disematkan untuk seseorang yang meletakan kehidupan orang lain diatas segalanya?

“Aku tidak sengaja melakukan ini untuk mendapatkan maaf, tapi aku memang ingin eomma memaafkan aku,” Yong hwa tersenyum. Mendadak langit-langit dapur berubah sendu, “aku tidak tahu kenapa aku butuh waktu lama untuk bisa memahamimu, eomma. Sungguh maafkan semua sikapku selama ini, aku tidak tahu bahwa sikapku menyakitimu. Jika saja aku terlahir kembali aku harap aku tetal terlahir sebagai puteramu. Jika aku bisa memilih aku tetap memilih eomma sebagai eomma-ku. Terus begitu sampai akhir.”

Ny. Jung tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. Dari mana puteranya belajar kalimat maaf seindah itu?

“Kemarilah,”

Yong hwa beranjak lalu duduk di sisi Ny. Jung. Tangn kirinya dengan cepat merengkuh Yong hwa dalam pelukan hangat. Mencium pucuk kepala Yong hwa berkali-kali.

“Berhenti minta maaf, eomma tidak pernah benar-benar marah padamu. Ya, terkadang kau membuatku marah tapi aku tidak pernah membencimu. Kau satu-satunya harta karun yang ibu miliki.”

Yong hwa mengangguk. Membalas pelukan ibunya yang hangatnya mengalahkan sinar mentari pagi ini.

“Ayo kita lupakan semua cerita menyakitkan dan pertengkaran sia-sia kita dan berjanjilah tidak akan mengungkitnya lagi.”

“Eoh, aku janji.” ujar Yong hwa lalu mencium pipi Ny. Jung.

Di tengah keromantisan itu mendadak ponsel Yong hwa berdering. Yong hwa tersenyum membaca nama Min hyuk tertera di layar ponsel. Tanpa perlu menunggu, Yong hwa langsung menggeser tombol hijau. Suara Min hyuk terdengar riang membalas sapaan Yong hwa.

“Ada apa? Apa tejadi sesuatu?!

“Ibuku sudah sadar dan sudah pindah ke ruang rawat inap.”

Jeongmal? Waaa, chukae aku senang mendengarnya,” ungkap Yong hwa dengan nada yang sama, “aku juga sudah berbaikan dengan ibuku.”

“Memang harus begitu.”

Yong hwa tertawa. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak pernah seperti ini. Jangankan tertawa bersama, saling menyapa saja sudah menjadi hal langka bagi mereka. Tapi nyatanya mereka masih menyimpan nomor ponsel masing-masing. Benar yang dikatakan orang, di dunia ini ada banyak hal yang tidak bisa dimengerti akal.

Yong hwa dan ibunya mulai menikmati sarapan setelah Min hyuk menutup telepon. Berbeda dengan hari-hari biasanya hari ini ruang makan terlihat lebih tenang dan manis. Hari ini cerita yang lebih indah akan segera dimulai. Mengurai kisah manis antara anak dan ibu itu.

Tak berapa lama giliran telepon Ny. Jung yang berdering. Ny. Jung sedikit mengernyit menatap deret nomor di layar ponsel.

“Iya saya sendiri. Dengan siapa saya bicara?” tanya Ny. Jung pada seseorang dibalik telepon.

“……”

“Kantor polisi? perhatian Ny. Jung seketika beralih pada Yong hwa yang masih melahap sarapannya, “Iya baik, biar saya yang mengambilnya.

Plak!

Satu pukulan tiba-tiba mendarat di bahu Yong hwa. Pemuda itu sontak terperanjat. Nyaris tersedak dengan makanannya.

“Ada apa?” tanya Yong hwa polos.

“Ada apa, ada apa? Apa yang kau lakukan dengan mobilmu,huh? Kau meninggalkannya di jalanan? Yang benar saja, kau ini.”

Yong hwa menepuk pelan keningnya. Sungguh ia tidak ingat perkara mobil itu.

“Tenang saja, eomma. Seoul itu aman.”

“Tapi mana boleh kau meninggalkannya begitu saja. Astaga, kau pikir itu mobil mainan?” Ny. Jung terus bicara sambil memukuli bahu Yong hwa.

Yong hwa tergelak sambil terus menangkis pukulan ibunya. Sebenarnya tidak sakit, tapi terlalu lama bahunya terasa panas.

Eomma, bukankah kita janji akan melupakan masa lalu kita?”

“Ini pengecualian!”

Yong hwa terkekeh, “Baiklah, baiklah maafkan aku.” Yong hwa mengecup pipi ibunya sebagai sogokan agar ibunya berhenti mengomel. Dan sungguh itu cara yang ampuh.

“Jadi, kapan ibu akan mengembalikan kartu kreditku?”

Yak, neo!”

Tawa Yong hwa kian pecah melihat ekspresi ibunya yang kembali gusar. Bertengkar seperti ini jauh lebih menyenangkan. Terkadang, ada hal-hal kecil dalam hidup ini yang perlu ditunjukan dengan cara yang ganjil agar bisa mengisi lubang-lubang kenangan di kemudian hari. Nyatanya, keluarga sebaik-baiknya tempatmu kembali.

=The End=

Annyeong Admin, reader salam kenal :* :*

Sebelumnya makasih udah bersedia nampung FF aku disini. Sebenernya malu juga sih aku belum pernah posting atau visit ke blog ini tapi udah nongol di event kkekeke

Seneng banget tahu ada event khusus buat ulang tahun Yong hwa. Sebagai fans-nya (?) aku merasa terpanggil buat ikutan. Semoga FF nya bisa menghibur sekaligus menginspirasi.

Happy Birthday for our leader. Please stay healty and always shinning. Kau tidak pernah tahu seberapa besar karya dan kehadiranmu memengaruhi kehidupanku. saranghae, always be, always will..

Semoga blog ini semakin menyuguhkan karya-karya yang menghibur dan menginspirasi. Segala hal baik yang tertulis disini menjadi doa untuk Cnblue,Park Shin Hye juga Yongshin :*

Gomawo, admin. See you :*

 

 

Catatan Admin :
Return, FF event ini ditulis oleh @boiceblossom, silakan diberi apresiasi, berikan komentar terbaik dan dibagikan, semua akan berkesempatan memenangkan hadiah :). Bagi teman-teman yang masih ingin berpartisipasi bisa klik di sini untuk informasi lengkapnya. Kami tunggu partisipasinya 🙂

Ada grup WhatsApp khusus pembaca web ini sebagai ajang untuk berbagi dan silaturahim, bila ingin bergabung sila hubungi Lisna di nomor 0821-8593-4742.

Selamat membaca dan jangan lupa komentar, saran dan kritiknya. Terima kasih.

Update postingan FF di web bisa dilihat di facebook HS Corner Shop atau di twitter Lovetheangels1

23 thoughts on “[FF Event] Return (Oneshoot)

  1. Tak ada shinhye,hyukie pun jadi 😆 bromance ini toch 😄 lucu 😊 gomawo. *abaika emoticon gw nangis beneran 😢

    Like

  2. Terharu banget dengan kata kata yg terucap dari mulutnya minhyuk .”kitakan teman “. Itulah persahabatan yg sesungguhnya .. Susah senang selalu ada ..

    Good job thor ..
    Next new ff nya

    Like

  3. Maaaaniis banget. Ga ada bumbu romance khas percintaan melainkan kasih sayang yang begitu tulus dari seorang ibu dan sahabat.
    Jempol 4 buat author

    Like

  4. Waahh boiceblossom always daebak 👍 banyak pelajaran yg bisa diambil dari ff ini. Good job saeng 👍👍

    Like

  5. Semarah-marahnya seorang ibu,ga akan pernah benci sm anaknya,,,gokil deh ceritanya #happyyongday 🎉🎁🎂

    Like

  6. Yongie ngenes ya.seorang ibu tidak akan pernh benar” marah terhadap anakny
    Dia akan selalu memaafkan dan dia akan selalu menuntun kita menjadi lebih baik

    Like

  7. Aku pernah bilang kan kl author adalah salah satu author favorit aku hehe…
    Ff ini nggak ada romantis me yongshin sama sekali walaupun senanglah dikit di awal ada nama shinhye disebut tp bnran kisah antara ibu anak dan pertemanan sejati ini bisa bikin kita sedih dan ketawa berbarengan. Salut….

    Like

  8. Masyaa Allah…
    Keren banget ff nya, ringan tapi banyak sekali pelajaran yang dapat diambil dari ff ini

    Ahh…persahabatan Yonghwa dan minhyuk benar2 manis.
    Dan kasih sayang antara Yonghwa dan ibunya luar biasa.
    Jadi teringat mama baca ini. Antara anak dan ibu tidak ada batasnya. Ya…pertengkaran kecil dan perbedaan pendapat pasti selalu ada. Meskipun begitu Rasa cinta dan sayang tidak akan pernah berkurang ^^

    Terimakasih author atas ff nya ^^

    Like

  9. Ini ff bgus bangett…
    Ada sedih nya,ada lucu nya,ada kisah persahabatan juga..
    Komplit dahh.

    Semangat ya author☺☺

    Like

  10. Sedih sedih bahagia, jadi inget ibu ku juga, gumawo eonni boice ffnya keren 👍👍

    Like

  11. syukurlah yonghwa masih di beri kesempatan untuk menyadari siapa teman yang benar” ada untuknya, dan tidak mengabaikan malaikat dihidupnya,
    sebagai seorang anak memang kita tidak bisa membalas apa yang telah dilakukan seorang ibu, tp dengan menjadi anak yang patuh ibu kita sudah bahagia luar biasa bukan?

    Like

  12. Waaah maniiiesnya….
    Yongie bener2.. Hihihi…
    Akhirnya yonghwa sadar sebelum terlambat.. Kisah ini menyayat hati author.. Memang disini.. Tidak sad.. Tapi 11 12 lah sama kisah hidup saya cuma bedanya saya terlambat buat minta maaf.. Saya terlambat untuk itu semua 😭😭😭dan kini tinggal lah penyesalan yang teramat dalam… Ini ff singkat tapi memiliki makna yang sangat besar…
    👍👍👍 fighting… Cukup bagus.. Memuaskan..

    Like

  13. Heol daebak👍👍👍
    Keren ih teteh ff nyaa, ringan tapi tetep asik dibaca sampe akhir. Ngga ngebosenin dan yg terpenting banyak pesan moralnyaa hihii~ Sukaaaaaaa apalagi sama hulk pink nya😂😂😂 wkwk

    Semangat tetehh moga menang yaaa, ditunggu karya selanjutnyaa😘😘

    Like

  14. Huaaa keren ff nya ,,, 👏👏👏
    Mom is an angel for her child, right ???
    Menyentuh bgt cerita nya ..huhh bikin mewek itu kata2 permintaan maaf YongHwa 😢

    Like

  15. Banyak yg bsa diambil dri kisah yonghwa n eommanya,
    N jga persahabatan yonghwa n minhyuk… Jdi ikut terharu😢😙😙

    Good job deh buat authornya👍👍
    Truz berkarya n smoga beruntung…..

    Like

  16. jong hyun dan jungshin tidak setia kawan, sedangkan minhyuk aja di cuekin yong hwa selama ini masih peduli sama yong hwa disaat yong hwa lagi kesusahan. kayak minhyuk yang di namai persahabatan yang sesungguh nya disaat teman nya susah dia masih ada untuk kita

    Like

  17. Wahhhhh akhirnya yong sadar juga ya… junhshin n jonghyun nya nyebelin bgt ya… hahahahhaha… ampunnn deh mereka…. untung punya teman kayak hyukie… jd yong n eomma nya bisa baikan…

    Like

  18. so sweet bnget…akhirny yonghwa n eomma bs akur n bhgia…minhyuk jg bhgia…prsahabtan yg indah…yg ada bt seseorang pd saat susah blum tntu ada wlo pun pny bnyk tmn…tp ngliat minhyuk yg mnlong yonghwa…itu bnr2 prshbtn sjati…mg mnang yaa ff nyy…kren bget crta ny…mnyentuh hti n mngingatkn qt untuk sllu mnghormati org tua ….

    Like

  19. Wah minhyuk menjadi pahlawan buat yonghwa karena bisa mengubah yonghwa menjadi lebih baik lagi dan mereka memang sahabat sejati,,,,,, tetap semangat buat auhor nya,

    Like

  20. Uhh Minhyuk tidak hanya wajahnya saja yang halus ternyata hatinya pun begitu halus dan lembut bagaikan sutera hihi #apaansih 😂😊
    I like Minhyuk. Karena dialah yang memberikan perubahan pada Yonghwa ☺
    Sahabat sejati memang tidak akan pernah terganti ☺ bersyukur juga istilahnya Yonghwa udah insyaf dari kelakuannya yang dulu 😁✌

    Like

Leave a comment