Posted in fanfiksi indonesia, freelance, Tiffatiffa, twoshoot

[FF Indonesia] Manito (Part 2/Ending)


Manito

Part 2 – Ending

PicsArt_08-12-11.44.28

Author : Tiffatiffa

Main cast : Jung Yonghwa dan Park Shinhye

Genre : Friendship

Editor : Riefa

 

~~~~~~~~~~~

 

I love you, I love you

Every day, like this

Tell me love you oh baby

I look at you all the time

And now I can’t hold it anymore

~~~~~~~~~~~

 

Kesabaran mungkin tiada ujungnya. Tapi bukankah menunggu masih ada batasnya? Rasa letih atas ketidakpastian bisa saja membuat seseorang berbalik lalu pergi.

Maka sampai dia merasa lelah dan berhenti mencintai orang lain, aku akan menunggu sedikit lebih lama darinya. Menahan rasa sakit ini sedikit lebih panjang. Cukup sedikit saja, menunggu hingga ia berbalik padaku. Sehingga saat tiba baginya memutuskan berhenti, dia akan melihat aku yang tersenyum menyambutnya.

 

~~~~~~~~~~~~

 

Suara pintu yang terbuka masih belum juga membuatku bergegas dari dalam kamar kecil itu. Aku tidak peduli meski sang pemilik ruangan datang dan menangkap basah diriku yang menerobos privasinya. Amarah yang semakin memuncak membuatku masa bodoh dengan kesalahan yang telah aku lakukan.

Bahkan, jika itu bisa disebut kesalahan!

Perbuatanku mungkin salah satu cara Tuhan untuk mengetahui pengkhianatan yang telah dia lakukan. Gadis yang lebih dari separuh umur kuanggap sebagai sahabat. Separuh jiwa yang tidak akan pernah menyakitiku.

Dulu.

Sebelum aku tahu semuanya.

“Apa yang kau lakukan?”

Suara Shinhye terdengar dingin. Tampaknya ia marah karena aku telah sembarangan membuka laptop pribadinya. Dia melirik tajam pada layar yang masih terbuka, menampilkan tulisan-tulisan yang telah terangkai menjadi sebuah cerita tak tuntas.

Tapi sekali lagi aku tidak peduli. Tatapan tajam dari matanya aku balas dengan cara yang sama. Bahkan mungkin terlihat lebih menakutkan lagi.

Gadis itu mendekat dengan langkah cepat. Dalam kurun waktu beberapa detik ia sudah berada tepat di hadapanku. “Kau membacanya?” ujarnya tertahan.

Bola matanya bergerak tak mau diam. Jika tidak salah mengartikan, aku bisa melihat gurat ketakutan di sana.

Aku mendengus keras. Satu sudut bibirku terangkat ke atas, membentuk senyum sinis yang seumur hidup tidak pernah aku tunjukkan padanya. “Kau puas mengolok-olokku?”

“Apa?”

“Jangan berpura-pura bodoh!” sentakku. Sungguh muak rasanya melihat raut wajah Shinhye yang kini tampak terguncang. Seolah dia tidak tahu apa yang sedang aku bicarakan.

“Kau benar-benar ingin terkenal, huh? Sampai kau harus mempermalukan aku dengan menjadikan kisah cinta ini sebagai ide ceritamu, eoh?”

Wajah Shinhye mulai memucat. Kerutan kebingungan itu perlahan menghilang. Mungkin dia tahu bahwa semua kepalsuannya telah terbongkar.

“Kau sahabatku, Shinhye! Tapi kenapa kau bisa melakukan hal ini padaku? Meski semua orang mengatakan aku bodoh, tapi bagaimana mungkin kau juga mencemooh perasaan tulusku untuknya!”

Aku tidak tahu perasaan apa yang lebih dominan di hatiku sekarang. Marahkah? Atau kecewa. Satu-satunya orang yang selalu aku percaya, tempat aku menumpahkan keluh kesah justru mencurangiku seperti ini.

“Tulisan ini ….” Aku menunjuk layar laptop kasar. “Tokoh utama dalam tulisan ini adalah aku, bukan?” berangku pada gadis itu.

Shinhye menunduk takut. Ini kali pertama aku berteriak padanya.

“Kenapa kau melakukan itu, huh? Apa tidak ada ide lain di kepalamu itu? Kenapa harus aku dan kisah cintaku yang kau jadikan bahan olok-olok! Kau ingin seluruh dunia menertawai kebodohanku?”

Aku menyerang lagi. Tapi tetap Shinhye tak mau menjawab. Dia hanya terdiam dengan kepala menunduk dan bahu bergetar.

Bagus.

Sekarang dia menangis dan aku mulai merasa bersalah.

Namun kutepis segera perasaan itu. Perbuatan Shinhye sudah sangat keterlaluan. Ditusuk oleh kawan sendiri rasanya jauh lebih menyakitkan daripada dicurangi lawan. Ratusan cerita yang kubagi bersamanya hampir setiap hari ternyata ia jadikan sebagai bahan cerita. Produk komersial untuk menambah nominal pada tabungannya.

“PARK SHINHYE, JAWAB AKU!”

Aku berteriak lagi. Lebih keras dari yang lalu. Sungguh kesabaran ini telah habis.

“Maaf.”

Akhirnya satu kata penuh penyesalan itu keluar. Hampir tak terdengar di telinga. Satu kata yang membuat bahu itu semakin bergetar. Shinhye masih menundukkan kepala tak berani menatap mataku barang sesaat.

“Kerja bagus, Park Shinhye ssi,”  sindirku tajam. “Aku harap buku yang kau tulis bisa membuatmu menjadi penulis paling terkenal di seluruh penjuru Korea.” Segera aku bergegas pergi meninggalkan tempat itu.

Ini adalah akhirnya. Persahabatan ini kusudahi demi sisa harga diri yang masih aku miliki.

 

~~~~~~~~~~~

 

Hari-hari yang kulalui sejak malam penuh kekecewaan itu terasa sangat berat. Kehilangan sahabat yang sudah seperti separuh jiwa terasa seperti berjalan hanya dengan satu kaki. Pincang. Aku sulit melangkah. Lebih mudah bagiku untuk merangkak.

Orang-orang di sekitar tidak pernah mengerti mengapa hubungan kami bisa seperti ini. Kadang aku mencoba menjelaskan. Tapi tatapan dan tanggapan mereka yang seolah menyudutkan membuatku malas lagi bercerita.

Apa kesalahanku?

Seharusnya mereka marah pada gadis itu, bukan padaku.

“Kau benar-benar bodoh, Yonghwa!”

Jonghyun, salah satu teman dekat kami tanpa ragu mengumpat padaku setelah mendengar cerita yang terjadi. Dan kalimat itu bukan hanya keluar dari mulutnya, tapi juga dari mulut orang lain yang mengenal aku dan Shinhye.

Kurasa diskriminasi gender benar-benar tidak bisa hilang. Orang-orang akan selalu memihak wanita. Kaum hawa selalu dijadikan sebagai korban, sedangkan kami para adam adalah si pembuat masalah.

Saat aku mencoba membela diri mereka justru menuduhku egois.

“Kau harus melihat bahwa dunia tidak selalu berputar di sekelilingmu. Yonghwa yah, kau sudah kehilangan sesuatu yang sangat berharga sekarang.” Hongki menceramahiku suatu kali saat kami minum bersama.

Saat itu aku sudah tidak lagi memedulikan semua komentar mereka. Kalimat-kalimat pedas seperti tadi sudah terlalu sering kudengar. Bertambah satu orang lagi yang mengatakannya bukan masalah besar. Aku tetap tidak akan mengubah keputusan.

Kekecewaan yang kurasakan begitu mendalam. Pengkhianatan adalah hal yang paling kubenci. Maka meski hari-hari kelam tanpa Shinhye terasa sulit dijalani, aku tetap melakukannya.

“Kau benar-benar tidak mau minta maaf?”

Minhyuk kembali menodongku dengan pertanyaan yang sama. Ini adalah bulan kedua yang aku lalui tanpa gadis itu. Dan aku masih saja belum terbiasa. Satu-satunya cara untuk membuat segalanya lebih mudah adalah dengan alkohol. Kali ini aku memanggil pria bermata sipit itu lagi untuk menemani.

“Seharusnya dia yang datang untuk minta maaf, bukan?”

Aku membalikkan kata-kata. Jika saja dia datang sekarang dengan sebuah kalimat panjang penuh penyesalan mungkin aku akan memaafkannya.

“Dia berhutang penjelasan padaku.”

Minhyuk menghela napas dalam. “Jika dia menjelaskan semuanya padamu, kau pasti akan menyesali perbuatanmu sekarang.”

Aku tertawa sinis. Menyesal untuk apa?

“Kenapa kau bisa begitu bodoh seperti ini, huh?” serangnya lagi.

Geumanhae,” ujarku dengan suara rendah yang mengancam. Sudah terlalu sering aku mendengar kata-kata seperti ini.

Kau bodoh!

Jung Yonghwa, kau bodoh!

Kau benar-benar bodoh, Yong!

Kalimat sejenis seperti itu sudah jadi makananku selama dua bulan ini. Komentar favorit dari mereka yang mengenal diriku dan Shinhye.

Minhyuk menggelengkan kepala perlahan. “Kau pasti menyesalinya suatu saat nanti.”

Ah! Kalimat ancaman itu juga sudah terlalu sering keluar masuk ke telinga.

Bunyi dering di ponsel menghentikan diriku untuk membalas ucapan Minhyuk. Aku melirik layar sentuh itu. Sebuah notifikasi pesan dari nama yang familier tertera di sana. Langsung saja aku membukanya, mengabaikan mimik muka kesal dari Minhyuk.

Desahan pelan keluar dari mulutku kala membaca pesan itu.

“Aku harus pergi sekarang.”

“Gadis itu?” tebak Minhyuk dengan nada kesal..

Aku mengangguk sembari mempersiapkan diri untuk pergi. “Terimakasih sudah menemaniku. Hari ini aku yang traktir,” ujarku terburu-buru.

Aku bergegas pergi tanpa membiarkan Minhyuk mengucapkan sepatah kata pun. Sudah pasti dia hanya akan memberikan komentar-komentar sinis. Seperti teman-temanku yang lain.

Mereka tidak pernah suka jika aku menghabiskan waktuku dengan gadis yang kucintai. Kata mereka aku terlalu bodoh hingga mau saja dijadikan pelarian olehnya. Semua menasehatiku untuk mencari gadis lain yang bisa balas mencintaiku.

Nasehat mereka selalu seperti itu.

Semuanya, kecuali Park Shinhye.

 

~~~~~~~~~~~

 

Dia menangis lagi. Untuk alasan yang sama. Karena pria yang sama. Pria yang hanya bisa membuatnya terluka.

Biasanya aku hanya akan diam mendengarkan. Menjadi patung tanpa hati yang menemaninya dalam hening. Membiarkan ia menumpahkan emosi dan air mata sementara aku sendiri hanya mengumpat dalam hati. Menyumpahi pria itu dan kebodohanku sendiri.

Tapi kali ini aku merasa tidak tahan. Semua perasaan yang aku pendam selama ini, rasa sakit dan sesak karena gadis itu rasanya tidak bisa aku tahan. Sungguh aku muak pada diri sendiri.

Maka tanpa berpikir dua kali, aku menyentak gadis itu saat ia mulai terisak.

Dia tampak terkejut mendengar nada suara tinggi dariku. Matanya yang memerah dan basah karena air mata bergetar ketakutan. Sesaat aku menyesali keputusanku, tapi nasi sudah menjadi bubur. Aku hanya bisa melanjutkan.

Mungkin ini adalah akhirnya.

“Berhenti menjadi gadis bodoh, kau tahu? Pria itu tidak pantas mendapatkanmu!”

Lega.

Akhirnya aku bisa mengatakan semua yang ingin kukatakan padanya. Bahwa selama ini dia sudah menjadi orang bodoh. Bahwa selama ini dia telah mencintai pria yang tak pantas untuknya. Bahwa aku ingin dia berhenti mencintai pria itu.

Oppa ….”

“Lupakan dia,” kataku tegas. Entah darimana keberanian ini datang. Sepertinya aku terlalu jenuh menjadi seorang pecundang seperti yang sudah-sudah.

Aku bisa melihat wajah terkejutnya sekali lagi. Mungkin saat seluruh isi hati ini tersampaikan ia akan terkena serangan jantung.

“Berhenti mencintai pria itu dan lihat saja padaku.”

Sudah.

Aku sudah mengatakannya.

Jelas tanpa ada makna ganda.

Gadis itu masih terdiam. Ia mungkin tengah terguncang mendengar pengakuan ini. Perasaan terpendam yang selama ini tidak pernah bisa aku ungkapkan.

Aku sangat tahu konsekuensi dari keputusanku. Jika ini tidak berhasil, gadis itu mungkin saja akan pergi menghilang selamanya dari kehidupanku. Tapi, aku tidak mau lagi menjadi bayang-bayang untuk pria lain. Aku hanya ingin dia melihat padaku saja. Aku tidak mau gadis itu menangis karena pria lain. Aku hanya ingin dia tersenyum bahagia karena diriku.

“Aku mencintaimu.”

Akhirnya kalimat sakral itu keluar. Tidak ada jalan balik, aku hanya harus menghadapinya sekarang.

 

~~~~~~~~~~~

 

Aku menatap tajam pada gadis yang tengah berdiri di depan pintu apartemenku. Gadis itu menggosok-gosokkan kedua tangannya kedinginan. Suhu di penghujung musim gugur memang cukup rendah, apalagi di malam hari seperti ini.

Kulirik jam di tangan. Sudah lewat jam sembilan malam. Entah telah berapa lama dia menunggu di sana.

“Ada urusan apa kau datang?” Suaraku terdengar dingin seperti angin yang baru saja berembus menusuk kulit.

Shinhye tampak terkejut sesaat setelah menyadari kehadiranku. Ia merapikan tas yang tersampir di bahu. Senyumnya mengembang meski tampak jelas kegugupan menyergapnya.

“Kau sudah pulang?”

Eoh.”

Aneh. Sudah tiga bulan lebih kami tidak bertemu, tapi aku masih bisa merasakan dengan jelas rasa sakit yang kualami karena pengkhianatannya.

“Bisakah kita masuk ke dalam?” tanyanya saat aku sudah berada di hadapannya.

Aku menghela napas keras sebelum membuka pintu untuknya. Sungguh dia datang di saat yang tidak tepat. Hati dan perasaan ini masih sangat berantakan. Emosiku masih mudah meledak. Sejak pertengkaran kami tiga bulan lalu aku berubah menjadi pria yang mudah marah dan kesal karena suatu hal yang kecil saja.

Belum cukup dengan kehilangan sahabat, aku pun harus menelan pil pahit karena gadis yang kucintai mulai menghindariku. Setelah pengakuan mengejutkan itu, dia perlahan-lahan menjauhiku. Tidak ada lagi telepon atau pesan singkat darinya. Dan semua pesan atau telepon dariku pun diabaikan.

Kini aku telah kehilangan dua orang paling berharga sekaligus.

Park Shinhye, sahabat dan separuh jiwaku.

Dan gadis itu, cinta dalam hidupku.

“Ada apa?”

Aku bertanya tanpa basa-basi saat kami telah masuk. Tidak ada sopan santun sekadar mempersilakan duduk atau menawarkan minuman. Shinhye akhirnya memilih untuk duduk di sofa single berhadapan denganku.

Jauh di lubuk hati, aku tahu sikapku ini sangat keterlaluan. Tapi kemarahan atas apa yang telah dilakukan Shinhye masih saja membara.

Bahkan aku menyalahkan dia atas keputusanku menyatakan perasaan pada gadis yang kucinta. Otak tak berlogika ini punya pemikirannya sendiri.

Kalau saja Shinhye tidak mengkhianatiku, maka kami tidak akan bertengkar. Aku tidak akan berubah menjadi pria yang terlampau sensitif. Lalu semua kegilaan untuk mengungkapkan cinta pada gadis itu tidak akan terjadi. Dan meski aku punya rencana untuk melakukannya, akan ada Shinhye yang pasti mencegahku melakukan hal bodoh itu.

Seharusnya dia tidak menusukku dari belakang. Kami akan tetap bersahabat dan emosiku tidak akan naik turun. Pun logikaku akan tetap berada di jalurnya. Dan hati kecil ini tidak akan punya kemenangan mutlak untuk semua keputusan gegabah yang aku ambil.

Tentu. Ini semua adalah kesalahan Shinhye.

Gadis itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya sekarang. Mataku melotot tajam. Dia menggenggam sebuah buku tebal dan insting di hatiku menjadi tak enak rasanya.

Ia menyodorkan buku dengan tebal sekitar tujuh sentimeter itu padaku. Sampulnya berwarna biru muda, ada gambar tiga tokoh di sana. Aku merinding. Gambar itu terlampau aku kenal. Dan sebuah kata yang bercetak tebal di sana membuat amarahku semakin mendidih.

Manito.

“Apa maksudnya ini?” Aku mendesis tajam setelah menemukan suaraku kembali.

Shinhye menarik napas sesaat. “Buku ini akan beredar mulai besok.”

Aku nyaris tak percaya mendengarnya. Gadis itu tampak tenang. Sama sekali tidak ada rasa bersalah dalam nada suaranya.

Gemerutuk gigi terdengar. Saat ini aku sedang berusaha keras mengendalikan emosi. “Apa kau gila? Kau akan melakukan ini semua? Kau benar-benar berencana membunuhku seperti ini, huh?”

Shinhye menggeleng pelan. Dia mencoba menatap mataku dengan sorot penuh kelembutan. Tapi aku tidak akan jatuh dalam perangkap itu.

Park Shinhye.

Gadis seperti apa sebenarnya dia? Orang yang sudah aku percayai selama ini ternyata terus saja menusukku.

“Aku ingin kau membacanya, Yonghwa. Itu adalah permintaan pertama dan terakhirku.”

Aku tertawa sinis mendengarnya. “Kau ingin aku membaca kisah tentang diriku sendiri? Kau ingin aku tahu betapa bodoh dan tololnya aku selama ini? Kau ingin mengolok-olokku dengan cara serendah ini? Kau benar-benar ingin aku melakukan itu, Park Shinhye ssi!?” teriakku marah.

Dia sungguh keterlaluan. Gadis itu benar-benar jahat.

“Aku tidak pernah menyakitimu, Yong. Dulu, sekarang dan di masa depan nanti. Tidak akan pernah.”

“Maksudmu dengan menerbitkan kisah cinta menyedihkan ini sama sekali tidak akan menyakitiku, begitu?” Kata-katanya sungguh memuakkan. Aku mendengus kasar. “Shinhye, kau bahkan lebih jahat dari semua orang yang mencemooh perasaanku untuk gadis itu! Setidaknya mereka selalu mengataiku di depan, bukan sepertimu yang diam-diam mengolokku seperti ini! Kau sudah merusak sisa harga diri yang aku punya!”

“Aku tidak pernah mengolok-olok dirimu, Yonghwa!” Shinhye menyahut cepat.

“LALU INI APA?” Aku berteriak marah.

Buku itu kulempar keras hingga membentur dinding. Shinhye terperanjat kaget. Belasan tahun kami berteman aku tidak pernah menunjukkan sifat temperamen seperti ini padanya.

Hebat.

Satu pengkhianatan mampu membuatku kehilangan kendali.

Shinhye memandangku lama dengan matanya yang mulai basah. Pandangannya lalu beralih pada buku yang tergeletak di sudut ruangan. Satu tetes air mata jatuh namun ia menyekanya cepat.

“Bacalah buku itu, Yonghwa. Lalu kau akan tahu diriku yang sebenarnya.”

Kalimat itu menjadi penutup sebelum ia menghilang di balik pintu apartemen. Aku mendengus marah. Tertawa sinis melihat kepergiannya sekali lagi.

Mataku beralih pada buku itu. Ada dorongan kecil untuk membacanya, tapi segera saja aku menahan diri. Kaki ini kupaksa melangkah masuk ke dalam kamar lalu mengunci diri dalam kesunyian.

Aku benar-benar hanya sendiri sekarang.

 

~~~~~~~~~~~

 

Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat.

Gadis cantik itu berdiri di depan pintu apartemenku dengan sebuah senyum menawan yang lama kurindukan. Tunggu! Sudah berapa lama aku tidak melihatnya secara langsung?

Satu setengah bulan? Tidak. Empat puluh tujuh hari lebih tepatnya. Aku selalu menghitung hari tanpa gadis itu, sama seperti aku menghitung hari tanpa Shinhye.

Seratus sepuluh hari. Itu hari-hariku tanpa Park Shinhye.

“Aku memutuskan untuk berpisah dengan Seojun oppa.”

Kalimat pertama yang keluar dari mulut gadis itu setelah kami terdiam lama membuatku ternganga. Beruntung aku tidak sedang memegang cangkir teh yang aku sajikan sendiri untuk kami berdua. Jika tidak, mungkin cangkir keramik itu akan terjatuh dan pecah.

Aku menatap wajah teduh itu saksama. Dia tampak begitu tenang duduk di sofa ruang tamu milikku. Meski bisa terlihat sedikit gurat kesedihan di wajahnya, tapi senyum lembut itu tidak juga lepas dari sana.

“Kau benar, Oppa. Aku terlalu berharga untuk dia,” ujarnya lagi.

Sekarang sebuah senyum tipis terkembang di wajahku. “Kau butuh waktu lama untuk menyadarinya,” kataku.

Gadis itu mengangguk kecil. Tangannya mengambil cangkir berisi teh vanila kesukaannya. Ia menyesapnya perlahan sambil menutup mata untuk meresapi teh racikanku.

“Teh ini sangat enak, Oppa.”

Pujian sederhana itu membuatku malu. Spontan aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal sama sekali.

Dia terkekeh kecil. “Oppa benar-benar lucu saat malu seperti ini.”

Wajahku pasti semakin merona seperti tomat sekarang. “Jangan menggodaku!”

Dia kembali tertawa. Tawa paling tulus dan murni yang pernah aku lihat dari wajahnya. Dulu saat dia tertawa selalu ada beban yang terlihat di sana. Seperti dipaksakan. Tapi kali ini sungguh sangat berbeda. Beban itu seolah hilang, meski sekilas aku masih melihat gurat kesedihan di sana.

“Katakan, apa yang membuatmu bisa mengambil keputusan seperti ini?”

Tidak kuasa aku menahan diri untuk bertanya. Aku tahu, ada hal lain yang membuat dia akhirnya memutuskan meninggalkan kekasihnya itu. Dan tentu saja hal ini bukan semata karena ucapanku beberapa minggu yang lalu.

Senyum tipis itu kembali datang. Ia menghela napas sesaat sebelum mengeluarkan sesuatu dari tas yang berada di pangkuannya. Mataku membulat besar saat melihat sebuah buku familier yang dia pegang. Buku yang pertama kali aku lihat tepat seminggu yang lalu. Buku dengan sampul biru muda yang bahkan tidak sudi kubaca.

“Park Shinhye eonni mengirimkan buku ini padaku.”

Lagi. Aku merasa seperti ditusuk sekali lagi. Kali ini dengan pisau paling tajam yang pernah ada di dunia. Ia menusuk pada luka yang bahkan belum mengering. Mungkin Shinhye sedang membalas dendam padaku sekarang.

“Aku menyadari sesuatu saat membaca buku ini ….”

Aku menahan napas saat dia menggantungkan kalimatnya.

Tidak.

Bahkan jika seluruh dunia menertawakan tentang kisah cintaku yang begitu menyedihkan, gadis itu tak boleh mengetahuinya. Aku boleh saja dikasihani oleh milyaran orang di luar sana, tapi tidak dengan dia.

Jika cinta dalam hidupku saja menertawakan atau lebih buruk, mencemooh dan mengasihani aku, maka lebih baik aku menghilang dari dunia ini sekarang juga.

“…. Aku sadar, mungkin aku juga akan hidup menyedihkan sama seperti tokoh wanita di novel ini.”

Tokoh wanita?

Tunggu! Siapa yang dimaksud oleh gadis itu?

Bukankah seharusnya tokoh utama dalam cerita itu adalah seorang pria, yaitu diriku? Kenapa dia bisa jadi tokoh wanita!

“Kau tahu, Oppa? Shinhye eonni bilang cerita ini adalah tentang dirinya sendiri. Akhir ceritanya sebenarnya belum benar-benar selesai, tapi aku bisa membayangkan tokoh wanita itu hidup kesepian karena selalu mengejar pria yang dia cintai. Lalu pria di belakang yang memayunginya lelah dan memilih berbalik.”

Sampai di sini aku sudah tidak lagi bisa mencernanya. Bukankah ini kisah tentang diriku? Kenapa Shinhye berbohong dan mengatakan bahwa ini adalah kisah cintanya.

Oppa, aku tidak ingin kau berbalik dan meninggalkan diriku kehujanan sendirian. Aku sudah lelah memayungi Seojun oppa. Aku ingin berjalan di sampingmu saja, Oppa.”

Perkataan gadis itu kembali mengusik kesadaranku. Kebingungan yang tadi kualami kini berganti menjadi kebingungan yang lain. Apakah ini mimpi? Aku tidak bisa membedakan khayal dan nyata sekarang.

Tapi saat melihat senyum gadis itu lalu kehangatan tubuhnya yang tiba-tiba memelukku erat, aku tahu ini semua adalah nyata. Dia benar-benar datang padaku. Gadis itu benar-benar berbalik ke arahku.

“Aku ingin mencoba memberikan hatiku padamu, Yonghwa Oppa. Aku akan melakukannya.”

Tuhan, itu adalah kalimat paling indah yang pernah aku dengar dari mulutnya.

Tanpa ragu lagi, aku mengeratkan pelukan yang dia berikan. Sungguh. Ini adalah bagian dari mimpi yang selalu aku harapkan. Mimpi yang sudah dua tahun selalu aku bayangkan. Dan hari ini, mimpi itu akhirnya menjadi kenyataan.

 

~~~~~~~~~~~

 

“Bagaimana perasaan Anda setelah novel Manito ini akhirnya sukses besar di pasaran dan nama Anda masuk sebagai jajaran penulis terbaik di Korea?”

“Tentu sangat menyenangkan,” seru gadis itu gembira. “Melihat banyak orang menikmati cerita yang aku tulis sungguh suatu hal yang membahagiakan. Apalagi saat melihat nominal angka nol yang tiba-tiba meningkat beberapa digit di buku rekeningku.”

Shinhye tertawa kecil di akhir jawabannya. Para wartawan dan juru kamera yang hadir di aula besar ini ikut terkekeh-kekeh mendengar jawaban jenaka yang diberikan oleh gadis itu.

Pertanyaan-pertanyaan lanjutan terus keluar dari mulut para juru berita. Aku memperhatikan dari sudut ruangan, bagaimana gadis itu menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan dengan sangat baik. Pendar kebahagiaan di wajahnya tampak nyata. Ini adalah mimpi yang selalu diceritakannya padaku. Menulis sebuah buku yang menjadi best seller di negeri ini.

“Rumor mengatakan bahwa novel ini adalah kisah hidup Anda sebenarnya. Apakah itu benar?”

Shinhye tampak mengambil waktu sejenak untuk berpikir. Hal itu menciptakan suasana hening yang cukup membuat diriku gugup sendiri. Saat dia membuka mulutnya lagi, ketegangan itu semakin menjadi.

“Cerita terbaik adalah cerita yang berasal dari hati tapi terkadang imajinasi juga bermain di dalamnya. Aku tidak mengatakan bahwa novel ini adalah kisah hidupku sebenarnya. Tentu ada bagian-bagian yang aku bumbui dengan sangat menarik untuk mendapatkan emosi terbaik. Jika boleh jujur, kisah hidupku tidaklah begitu rumit seperti tokoh dalam cerita ini.”

Terdengar gumaman pelan di seluruh ruangan. Para reporter tampak saling melempar tanya dengan jawaban ambigu dari Shinhye. Sedang aku yang masih betah berdiri di sudut tersembunyi ini hanya bisa menatap gadis itu getir. Perasaan bersalah untuknya muncul lagi, membuat senyum di wajahku kembali memudar.

Benar kata semua teman-temanku, saat kebenaran telah terungkap, penyesalan dan rasa bersalah hanya menjadi kata yang tepat untukku.

 

~~~~~~~~~~~

 

Flashback

Oppa, apakah Oppa tidak tahu siapa pria yang dicintai oleh Shinhye eonni?”

Pertanyaan gadis itu membuatku membeku. Program acara musik yang sedang tayang di layar televisi berlalu begitu saja tanpa kutonton. Aku menjadi sibuk dengan pemikiranku sendiri.

Gadis yang sudah satu minggu berstatus sebagai kekasihku ini mengangkat kepalanya dari sandaran di bahuku. Ia menatap wajahku dengan raut penasaran. “Oppa adalah sahabat terbaiknya, bukan? Seharusnya Oppa tahu siapa pria yang dicintai Park Shinhye eonni. Siapa dia? Apa Lee Jonghyun ssi? Atau mungkin Hongki ssi? Tidak mungkin Minhyuk, bukan?”

Dia bertanya tanpa henti membuatku tertawa kecil. “Kau terlalu banyak bertanya sekarang.” Aku mencubit gemas kedua pipinya. Hal itu membuat dia mengerucutkan bibir kesal.

“Aku hanya ingin tahu, Oppa!”

Tidak tahan aku mengecup sekilas bibir merah yang mengerucut itu. “Dan kenapa kau ingin tahu, Sayang?”

“Aku ingin membantu Shinhye eonni,” jawabnya tanpa pikir panjang. “Seperti dia telah membantu kita untuk bersama, aku juga ingin membantunya.”

Jawaban lugu gadis itu membuatku merenung. Benar. Shinhye sudah berusaha untuk mempersatukan diriku dengan pujaan hatiku, tapi aku malah menuduhnya macam-macam.

Sudah satu minggu terlewat setelah aku menyadari kesalahanku. Bahwa Shinhye sama sekali tidak mengkhianatiku dengan ceritanya. Bahwa cerita itu bukan tentang diriku, tapi tentang pengalaman pribadinya sendiri. Tapi aku masih belum berani meminta maaf padanya.

Aku terlalu malu.

Oppa ….”

Gadis cantik itu menyadarkanku kembali. Raut wajah penasarannya semakin menjadi. “Beri tahu aku siapa pria itu?” desaknya lagi.

Aku menggeleng pelan dengan sebuah senyum tipis di wajah. “Oppa tidak tahu,” jawabku pelan.

Gadis itu tampak terkejut. Dia tahu betapa dekatnya hubunganku dan Shinhye. Kami sahabat, saudara tak sedarah.

Tapi sahabat macam apa aku ini? Bahkan aku sama sekali tidak tahu bahwa Shinhye diam-diam mencintai seorang pria selama ini.

“Apa kau yakin bahwa Shinhye memang punya seseorang yang dicintai?” tanyaku ragu.

Bukankah itu hal yang aneh? Aku yang mengaku sebagai sahabat terbaik gadis itu justru bertanya pada kekasihku sendiri yang tidak begitu dekat dengan Shinhye.

Kekasihku mendecak kesal. “Shinhye eonni sendiri yang bilang. Lagi pula saat membaca novelnya, aku bisa merasakan ketulusan yang dia rasakan pada pria itu.”

Aku terdiam lagi. Apakah selama ini aku sudah menjadi sahabat yang tidak baik?

“Jangan bilang Oppa belum membaca novel ini?” tebaknya tepat.

Lagi. Aku terdiam. Sungguh aku memang tidak pantas disebut sebagai sahabat.

Oppa! Oppa harus membacanya! Mungkin Oppa akan tahu siapa pria yang dimaksud oleh Shinhye eonni,” desaknya lagi.

Aku tidak punya pilihan lain selain mengangguk mengiyakan. Mungkin kekasihku benar. Saat membaca buku itu aku mungkin bisa tahu siapa pria yang Shinhye cintai. Lalu aku akan membantunya menemukan kebahagiaan seperti yang telah dia lakukan untukku.

Flashback end

 

~~~~~~~~~~~

 

Satu per satu wartawan dan kamerawan yang tadi memenuhi tempat ini beranjak pergi. Waktu konferensi pers sudah berakhir dan di dalam ruangan hanya tersisa gadis itu dan beberapa orang saja. Ia tampak tersenyum dalam pembicaraan santai dengan seorang wanita yang tampaknya adalah staf dari kantor agen penulis.

Aku memberanikan diri berjalan mendekat. Saat ini hanya tersisa tiga orang di dalam ruangan. Aku, dia, dan staf wanita itu. Saat jarak semakin menipis, gadis itu akhirnya menengok ke arahku.

Senyum di wajahnya perlahan sirna, namun secepat kilat lengkung sempurna itu kembali ke wajah cantiknya. Senyum yang terbiasa aku lihat semenjak remaja. Senyum penuh binar yang mendamaikan hati.

“Jung Yonghwa.”

Aku mendengar suaranya lagi setelah waktu yang terasa begitu lama. Suaranya masih sama. Terdengar hangat dan bersahabat.

Aku mencoba tersenyum padanya, meski kuyakin akan begitu canggung terlihat. “Shinhye, bisakah kita bicara sebentar?” Aku melirik sekilas pada wanita yang tadi menjadi lawan bicaranya.

Shinhye mengerti dan segera mengangguk singkat. “Eonni. Aku akan pergi sebentar dengan temanku ini. Nanti aku akan langsung ke kantor, ne?”

“Oh! Baiklah.”

Wanita yang dipanggil ‘eonni’ itu mengangguk memaklumi. Setelahnya ia pergi meninggalkan kami berdua saja.

Aku berdeham kecil, mempersiapkan diri untuk memulai pembicaraan. Tapi belum sempat aku berkata-kata dia sudah lebih dulu bersuara.

“Bagaimana kalau kita berbincang sambil minum kopi. Sudah lama kita tidak pergi ke kafe favorit kita, bukan?” Ia melirik jam di pergelangan tangannya sekilas. “Aku masih punya banyak waktu untuk sekadar minum kopi bersama. Bagaimana?”

Aku terdiam sejenak sebelum menerima tawarannya. Tempat ini memang tidak memungkinkan untuk melakukan pembicaraan serius.

 

~~~~~~~~~~~

 

“Satu iced caramel macchiato dan satu iced americano.”

Shinhye meletakan dua gelas minuman berbahan dasar kopi berukuran venti ke atas meja. Senyumnya merekah membuat paras cantik itu semakin terlihat memesona.

Gumawo,” ujarku meraih minuman yang dia berikan.

Aku menyesap kopi hitam pekat itu pelan. Mencoba mengulur waktu. Ada banyak hal yang ingin kubicarakan dengan Shinhye, tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku bingung. Dan rasa canggung yang masih kurasakan membuat mulut ini semakin sulit berkata-kata.

Sudah beberapa bulan waktu berlalu tanpa kami bertatap muka, dan gadis itu sudah jauh berubah sekarang. Polesan make up yang cukup kentara dengan pilihan lipstik berwarna merah membuatnya terlihat lebih dewasa.

Sophisticated.

Mungkin itu ungkapan yang cocok dengan Park Shinhye yang ada di hadapanku saat ini.

“Haaaah ….” Shinhye menghela napas keras lalu tersenyum lebar.

Spontan aku menengok ke arahnya yang sekarang menutup mata entah untuk apa. Kami berada di dalam kedai kopi waralaba ternama dunia, bukan berada di suatu alam terbuka dengan udara atau pemandangan indah. Tapi sikap gadis itu seolah tengah menikmati suatu hal yang begitu menakjubkan.

Dia membuka matanya tiba-tiba. Menatap padaku yang masih saja bingung dengan sikapnya.

“Yonghwa yah, apa kau ingat sesuatu tentang tempat ini?”

Aku mengerutkan kening bingung. Kedai kopi ini adalah salah satu tempat favorit bagi kami. Tapi bukan hanya itu, kami juga pertama kali berkenalan di sini.

“Ini tempat pertama kali kita bertemu,” jawabku.

Senyum di wajahnya semakin mengembang. “Kau benar.” Ia menoleh ke arah counter yang sedang kosong tanpa pelanggan. Tangannya menunjuk ke sana. “Dulu kau lupa membawa dompet. Saat hendak membayar iced americano pesananmu kau terlihat sangat kelimpungan. Ekspresi wajahmu saat itu sangat lucu, kau tahu?”

Dia tertawa pelan membuatku ikut melakukan hal yang sama. Belasan tahun lalu, aku yang saat itu baru duduk di bangku sekolah menengah berniat membeli minuman favoritku. Namun sial, saat itu aku lupa membawa dompet dan sama sekali tak ada uang tersisa di kantung. Lalu Shinhye datang sebagai penolongku. Gadis berpakaian seragam yang sama denganku itu tanpa pamrih memberikan bantuannya. Ia meminjamkan beberapa ribu won untuk aku membayar minuman yang terlanjur kupesan.

Itu adalah awal pertemuan kami. Juga awal di mana persahabatan ini berjalan. Seperti takdir. Bukan hanya bersekolah di tempat yang sama, tapi kami juga sama-sama berasal dari Busan dan merantau ke Seoul seorang diri. Hal itu membuat kami menjadi semakin dekat dan lama-kelamaan kami saling mengandalkan satu sama lain.

Salah.

Aku yang selalu mengandalkan Shinhye.

“Dan kau membantu karena kasihan dengan ekspresi nelangsaku. Benar bukan?”

Eoh.” Shinhye mengangguk bersemangat. “Wajahmu seperti anak anjing yang kesusahan. Aku jadi sungguh kasihan dan mengorbankan iced caramel macchiato kesukaanku agar bisa membayar pesanan iced americano milikmu.”

Ini bukan pertama kalinya kami membicarakan hal ini. Tapi baru sekarang aku menyadari sesuatu. Bahkan sejak awal Shinhye adalah orang yang selalu berkorban untukku.

Saat itu, Shinhye yang hanya murid SMA perantauan sepertiku tidak memiliki banyak uang saku. Dia hanya bisa menikmati caramel macchiato sekali seminggu. Tapi dia mengorbankan minuman favoritnya untuk membantuku, orang asing yang sama sekali tidak dia kenal.

“Kau memang gadis bodoh.” Aku tersenyum miris. “Seharusnya kau membiarkan saja aku menanggung malu saat itu. Seharusnya kau tidak mengorbankan apa yang kau sukai demi diriku!”

Kata-kataku mungkin terdengar ambigu. Dan Shinhye yang pintar segera menangkapnya dengan cepat. Lengkung ceria di wajahnya perlahan menguap menjadi seulas senyum tipis saja.

“Kau sudah tahu rupanya,” ujar Shinhye pelan.

“Shinhye.” Aku memberanikan diri menatap gadis itu. Ada kesedihan dalam pendar matanya.

“Kau sudah membacanya?”

Aku mengangguk pelan. Setelah membaca seluruh isi novel yang dia tulis, aku langsung menyadari satu hal. Aku adalah pria paling jahat di dunia. Manusia dengki dan tidak peka. Kata sahabat tidaklah pantas untukku.

Bukan hanya telah menuduh Shinhye sebagai pengkhianat, aku juga sama sekali tidak pernah peduli pada perasaannya. Belasan tahun kami lalui bersama, tapi aku tidak pernah tahu bahwa gadis itu menyimpan perasaan untukku. Bahwa Shinhye telah menempatkan dirinya sebagai manito untuk pria jahat ini.

Bahkan sampai sekarang aku masih tidak percaya dengan kenyataan itu. Tapi, melihat tulisan Shinhye, semua cerita yang ada dalam bukunya, aku tahu pria bodoh yang dia cintai adalah diriku sendiri.

Ini membuatku marah. Bukan lagi pada Shinhye tapi pada diriku sendiri. Kebencian yang aku lemparkan padanya kini berbalik seperti bumerang.

Aku membenci diriku sendiri. Yang bodoh, yang jahat, yang tidak peka. Dan aku membenci diriku sendiri yang membuat Shinhye terluka.

“Kenapa kau membiarkan dirimu sendiri terluka, Shin? Kenapa kau tidak mengatakan semuanya sendiri padaku?” Aku tercekat. Pertanyaan itu terasa bodoh sekarang.

Shinhye mencoba tersenyum meski jelas terlihat kepahitan di sana. “Mungkin karena aku bodoh? Dan aku memilih menjadi orang yang bodoh karena mencintai,” ujarnya terdengar santai.

Aku jadi teringat kata-katanya dulu saat aku mengeluh tentang cintaku yang tak berbalas. Shinhye mengatakan menjadi bodoh karena cinta adalah pilihan. Dan dia melakukannya sendiri.

“Maafkan aku, Shinhye yah.”

Shinhye menggeleng pelan. “Jangan meminta maaf, Yong. Itu bukan salahmu. Kau tidak tahu apa-apa. Wajar jika kau salah paham seperti itu.”

Bukankah selalu seperti ini? Dalam keadaan apa pun Shinhye akan selalu membelaku. Bahkan jika aku bersalah padanya, gadis itu tidak pernah menyalahkan. Seringkali justru dia yang datang dan meminta maaf untuk kesalahan yang aku buat.

Untuk kali ini, aku tidak mau lagi seperti itu. Ada banyak kata maaf yang harus dia dengar. Dan aku tidak akan berhenti.

“Aku minta maaf, chingu.”

“Tidak tahu perasaanku juga bukan kesalahanmu, Yong. Aku hanya terlalu pandai menyembunyikannya.” Kini Shinhye kembali menampilkan senyum hangat itu, meski matanya tidak ikut tersenyum. Ada gumpalan air mata yang siap jatuh di sana. “Dan kau selalu menjadi sahabat terbaik untukku.” tambahnya.

Sekali lagi, dia tahu maksud permintaan maaf ini. Dan tentu dia juga membesarkan hatiku lagi.

“Shin, aku benar-benar minta maaf.”

Bibir ini bergetar saat mengatakannya. Aku harap dia juga mengerti maksud permintaan maaf ketiga ini. Sungguh, untuk permintaan maaf kali ini aku tidak mungkin bisa menjelaskannya dengan baik.

“Aku tahu.”

Gumpalan air mata itu akhirnya jatuh juga. Dengan cepat Shinhye menyeka lalu mencoba memberikan senyum seperti biasanya. “Kekasihmu datang beberapa hari lalu. Dia mengucapkan terimakasih padaku karena telah membuatnya sadar.”

Tuhan ….

Aku terus saja menyakitinya, bukan?

“Maaf.”

Mataku juga mulai berkaca-kaca. Aku tidak tahu akan sesakit ini rasanya. Mengetahui bahwa kebahagiaan yang aku rasakan selama ini justru menyakiti gadis yang selalu berada di sampingku.

“Jangan meminta maaf, Yonghwa. Kau tahu mencintai bukanlah suatu kesalahan.”

Aku mengangguk menyetujui ucapannya. “Tapi cintaku membuatmu terluka.”

Aku bisa memahami dengan baik perasaan Shinhye. Saat gadis yang kucintai mengatakan dia mencintai pria lain, rasanya sangat menyakitkan. Seperti ditusuk pisau tajam di ulu hati.

Mencintai bukan kesalahan, tapi mencintai bisa menyakiti banyak hati.

Dalam kasusku ini, Shinhye adalah orang yang paling tersakiti. Juga sebagian diriku yang lain yang entah bagaimana juga merasa sakit yang gadis itu rasakan.

“Apa kau bahagia?”

Aku mengangguk pelan menjawab pertanyaan Shinhye. Aku tidak akan berbohong. Hari-hariku bersama gadis yang kucintai sungguh membahagiakan.

Senyum di wajah itu kembali terlihat. Kali ini terasa tulus mencapai ke matanya yang meski masih basah namun ikut tersenyum. “Itu cukup.”

“Shinhye ….”

“Yonghwa.” Ia memotong kata-kataku. Pandangannya jatuh tepat ke bola mataku. “Gadis itu sudah memayungimu sekarang. Jadi aku akan berhenti memberikan payungku untukmu. Tidak apa-apa, bukan?”

Aku ingin berkata tidak.

Jangan. Jangan berhenti memayungiku.

Tapi bukankah itu akan sangat egois? Kita tidak perlu dua payung untuk menembus derasnya hujan. Dan selagi aku berbagi payung dengan gadis yang kupilih, bukankah akan sangat jahat jika aku meminta Shinhye tetap memayungiku?

Maka aku terpaksa mengangguk pelan. Aku tidak bisa lagi membuat dia menderita. Aku tidak boleh lagi membuatnya menangis diam-diam.

“Bisakah kita tetap bersahabat?” tanyaku pelan.

Shinhye boleh saja menutup payungnya untukku, tapi aku masih ingin dia berada di dekatku. Sebagai sahabat, bukan gadis yang mencintai dalam diam.

Aku tahu permintaan ini juga terdengar berat untuknya. Gadis itu tidak berkata-kata untuk waktu yang cukup lama sebelum akhirnya ia menggeleng pelan.

“Maaf, Yonghwa.”

Aku tahu ini akan terjadi.

“Jika kita memaksakan persahabatan ini, aku hanya akan terus menjadi manito untukmu. Aku tidak akan bisa melupakanmu. Kau tahu itu, bukan?”

Aku mengangguk perlahan. Tentu saja. Melupakan butuh usaha yang sangat banyak. Salah satunya adalah dengan pergi menjauh. Bahkan kadang hal itu tidak menjamin kita bisa mengubur rasa cinta yang menggebu.

“Aku sadar saat kekasihmu datang padaku hari itu. Dia terlihat bahagia dengan pilihannya. Berhenti mencintai pria yang dicintainya dan berbalik kepadamu membuatnya terlihat jauh lebih bahagia.” Shinhye menghela napas sesaat. Air matanya sudah mengering tapi tidak ada senyuman lagi di sana. “Aku juga ingin seperti itu, Yong. Aku ingin berbalik dan mencari kebahagiaanku sendiri.”

Pilihan yang realistis. Sesuai dengan Shinhye yang aku kenal.

“Kalau tidak sekarang, mungkin suatu saat nanti?” pintaku.

Dia kelihatan ragu sesaat, tapi kemudian kepalanya mengangguk setuju. “Aku akan mencari pria yang mau berbagi payung denganku. Saat hari itu tiba, kami akan datang dan kita mungkin bisa berjalan beriringan bersama lagi.”

Gadis itu memberikan janji yang terdengar indah. Sungguh aku berharap hal itu akan terjadi segera.

“Kau harus menemukan pria itu, Shinhye.” Aku mengangkat kelingking kananku ke udara, memintanya untuk berjanji.

“Oh, Yong.” Dia mendecak kecil tapi tetap menautkan jarinya ke jariku. “Ini terakhir kalinya aku melakukan hal kekanakan ini denganmu!”

Shinhye akhirnya tertawa geli. Tawa renyah pertama yang aku dengar setelah pembicaraan menguras emosi sejak tadi.

Tanpa sadar bibir ini ikut terhanyut oleh tawanya. Lalu aku menyadari satu hal, aku ingin melihat Shinhye bahagia. Seperti aku yang bahagia dengan cinta dari kekasih hatiku, aku harap gadis itu juga bisa menemukan pria yang mencintainya.

“Kau harus bahagia, Shin,” bisikku sebelum melepaskan tautan kelingking kami.

Dia harus bahagia.

Shinhye harus bahagia, dengan pria lain yang mencintai dan yang dia cintai juga.

 

~~~~~~~~~~~

 

Terkadang usaha untuk menunggu membuahkan hasil. Dia yang kau cintai akhirnya berbalik lalu bersama kalian akan menapaki jalan setapak yang diguyur hujan atau terik matahari.

Tapi untuk sebagian lainnya, menunggu tidak juga bisa membuat dirinya datang. Menunggu hanya akan membuatmu lelah. Sehingga pada waktunya nanti kau yang memutuskan untuk pergi dan mencari orang lain yang bisa diajak berbagi.

 

~~~~~~~~~~~

 

——-THE END——

~~~~~~~~~~~

 

Notes:

Yups. Aku memutuskan mengakhiri kisah gaje ini dengan akhir yang nano-nano. Cerita ini jelas gak berakhir dengan happy, tapi juga gak bisa dibilang sad ending. Bener gak? Abu-abu ajalah pokoknya haha.

Oh iya, gadis itu, cintanya si Bang Yong sengaja dibuat tanpa nama. Soalnya gak relaaaa …. Bohong deh! Aku cuma ga punya sosok yang cocok untuk karakter ini.

Btw tadinya part ini berencana di-password, tapi berhubung aku lagi sibuk jadi biar saja deh bebas diakses. Buat yang nunggu Erase, akan aku kirim ke editor setelah aku seminar.

Kapankah itu? Entah hahaha.

Makanya doakan doong *peace*

~~~~~~~~~~~

 

 

 

Catatan Admin :

Manito hadir dengan part 2/ending. Haduh kok nyesek ya bacanya, apalagi suasana di sini pas mendung-mendung habis gerimis itu, ditambah lagi galau nungguin subtitle drama Save Me huhuhu. Buat saya ini sad ending karena Yonghwa tidak bersatu dengan Shinhye, walau kemungkinan suatu saat mereka bisa bersatu lagi hahaha (kode minta sekuel hihihi). Terima kasih Tifa sudah melanjutkan FF ini di tengah kesibukan mengerjakan skripsi dan mempersiapkan seminar, semoga semuanya cepat selesai dan dilancarkan ya, semangat \(^_^)/

Ada grup WhatsApp khusus pembaca web ini sebagai ajang berbagi dan silaturahim, bila ingin bergabung sila hubungi Lisna di nomor 0821-8593-4742.

Selamat membaca dan jangan lupa komentar, saran dan kritiknya. Terima kasih

Update postingan FF di web bisa dilihat di facebook HS Corner Shop atau di twitter Lovetheangels1

 

26 thoughts on “[FF Indonesia] Manito (Part 2/Ending)

  1. Trs terang….aku kecewa dgn akhirnya..knapa hrs sad end, thor..knapa yongshin g jadian?…huhuhu…sakit hati ini thor…hrp maklum, aku jg yongshin shipper (jdi berasa ga rela gitu, yong sama yg lain) 😢😢😢…
    btw, ceritanya ttp bgs kok, thor…thx yaaa.

    Like

  2. 😭😭😭😭😭😭 sumpah bikin mewek.. Ga tau mau komen gmn thor, ikutan sakit ini hati 😭😆..
    Crtanya sukses brat bikin hatiku nano-nano thor, berasa kita sndri yg trsakiti, gomawoo udh bikin crta yg keren author tiffa😀😘

    Like

  3. Nyesek banget bacanya eon, nggak kebayang deh klo jadi shinhye eon. Kuat banget dianya eon 😭😭Nggak ada sequelnya eon? Hehe

    Like

  4. ah ini bkin mewek sih yaaa…
    bsa dijadiin pelajaran suka buat org* yg ga peka sma prasaan org yg da di skitar qta.. jdi ga pnya dunia sendiri gitu.. hahaaaa ngmngqu kya org bener aja 😂😂😂

    Like

  5. suka banget ceritanya. mirip kisah saya hehe.
    merelakan orang yg dicintai untuk orang lain bukan karena tidak mau berjuang dan putus asa tapi karena yakin kuat melewatinya dan berlapang dada menerima semuanya bukankah melihat orang lain bahagia insyAllah diri kita juga bahagia. kita cari kebahagiaan sendiri butuh waktu tapi akan indah pada waktunya. gomawo thor

    Like

  6. Berbahagia untuk seseorang yang dicintai tapi tak mencintai kita memang sedikit sulit, tapi berbahagia atas kebahagiaan orang lain mungkin nanti akan jadi doa untuk kita agar kita bisa sepertinya 😊

    Tulisan author tifa rapih banget dan bikin penadaran terus terus dan terrus kalo ngebacanya , aku juga sanaat memnantika part erase nya , semoga author banyak waktu luang untuk membuat karya lagi jadi aku bisa baca lagi 😂
    fighting thor 😘

    Like

  7. Aku sedihhh bacanyaaaa… kenapa menurutku si cewe nya yg egosi ya??? Cewenya pasti tau lah siapa cowo di novel shinhye.. hehehehehe.. maafkan ga rela ajaaaa akhirnya yong ama shinhye ga sama2.. thanks ff nya ya tifa..

    Like

  8. Nyesek…
    Kenapa yong hwa bodoh banget. Shin hye benar kamu harus mencari kebahagianmu sendiri, bikin yong hwa menyesal telah menyakitimu.

    Like

  9. Yonghwa bodoh, paboya…..
    Kisah cinta yg miris. Walaupun ad kmungkinan jodoh hehehe

    Like

  10. Seperti biasa tulisan author tiffa rapi banget dan story nya mengalir indah #halahhh

    Ps. Ditunggu erase nya. Lama bgt ciiiinnnn

    Like

  11. Shinhye tegar sekali walaupun hati nya sakit….dan yonghwa gak sadar bahwa shinhye sangat mencintai nya dan rela mengorbankan semuanya…..semoga ada seqeulnya…ceritanya menguras air mata dan tetap semangat buat author nya.

    Like

  12. Ya allah nyesek thor… 😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭hatiku ikut jadi kelabu….😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭semoga penantian qu ini tidak sia sia ya… Hahaha…
    Aigooo luar biasa puas sama tulisannya.. Tapi ngak puas buat akhir dari kisah shinhye nya… Haha ha ha maklum lah thor… Diriku yongshin shipper… Jadi tetap ngak puas dengan yang namanya sad end,,, atau end yang kelabu… Tapi tulisan author cukup memuaskan,, sangat pun… Makasih ya…

    Like

  13. menguras emosi sekali..shinhye tabah n tegar bnget c ..cinta ny brtepuk sblh tngan.dtunggu ff yg lainnya yaa thor…crta ny krren n bgus smw

    Like

  14. Nyesek banget… buat aku ini sad ending krn yongshin gak bs bersatu.. walau ada kemungkinan mereka bersatu.. please jgn pisahkan yongshin.. buat sequel nya ya author supaya yongshin happyending.. cerita nya keren menguras emosi dan air mata.. ikutan nyesek ngerasain apa yg shinhye rasain.. cinta bertepuk sebelah tangan.. sediihh…

    Like

  15. belum baca aja udh baper, abis baca malah nangis…
    sahabat macam apa selama itu hanya sibuk memikirkan perasaannya sendiri? bukankah bersahabat tidak sendiri…
    pada akhirnya selalu ada yg terluka…
    terima kasih author untuk kegalauan ini… hiks hiks…

    Like

  16. Huhuhu…..ini mah sad ending krn yongshin ngga bersatu. Sequel please
    Aku ngebayangin cw nya yonghwa itu yg pasangannya di the package hehe…
    Keren author, di akhir part satu aku kira yonghwa tau kl shinhye suka sama dia shg berakhir dgn persahabatan yg berubah jd cinta atau yonghwa kecewa krn persahabatan berubah jd cinta, jd kecele deh
    Eh comen nya panjang ya

    Like

  17. 😭😭😭sedih bgt, meski yonghwa dah bahagia tp ttp shinhye yg pling kasian udah mngorbankan sgala hal tuk yonghwa, hrus mmendam cinta n skitnya sendirian tp ahirnya khilangan cintanya jga hiks…..
    Meski endingnya gk spt harapan tp ttp cerita author tiffa slalu keren👍👍👍
    Ditunggu ff slanjutnya…..

    Like

  18. Bacanya pas lagi hjn kayak gini,,banjir sudah nie😭😭😭,,,tp suka si ceweknya yongie gak pake nama,suka karakter shinhye disini cewek yg kuat,yg bs nyembunyikan cintanya,,good luck authornim,,ditgg erase nya

    Like

  19. Nyesek mewek bacanya😭😭😭😭😭
    Makasih thor karena ud sembunyiin identitas kekasih yong,jgn smpai ketahuan readers ya thor ntr bisa ke bully 😂😂😂😂
    Ini tuh namanya SAD END thor karena yongshin ga bersatu 💔💔💔💔😭😭😭
    Buat author semoga segala urusannya dilancarkan dan seminarnya cepat dilaksanakan jadi erese nya bisa dilanjutkan 🙏🙏
    Semangat terus thor dan tetap berkarya 💪💪💪😘😘😘😘

    Like

Leave a comment