Posted in fanfiksi indonesia, freelance, sequel, series, Tiffatiffa

[FF Indonesia] Erase (Part 2)


Erase

Part 2

photogrid_1487169600917

Author : Tiffatiffa

Main cast : Jung Yonghwa dan Park Shinhye

Other cast : Kang Sora, Ok Taceyeon, Goo Hara Jung Soo Jung, Park Jinyoung.

Editor : Riefa

~~~~~~~~~

 

Noonaaaa!!”

Park Jinyoung berlari kecil memeluk Shinhye yang baru saja memasuki kediaman Park bersama suaminya. “Aku sangat merindukanmu,” serunya bahagia.

Aigoo …. Noona juga sangat merindukanmu.”

Shinhye menepuk-nepuk punggung Jinyoung pelan. Ah! Betapa ia sangat merindukan adik lelaki satu-satunya ini. Terakhir kali mereka bertemu adalah saat hari pernikahannya. Jinyoung yang berkuliah di Jepang sengaja meliburkan diri dan terbang ke Korea demi menghadiri pesta pernikahan Shinhye.

Karena itu, saat adiknya mengatakan bahwa ia akan pulang di libur semester ini, Shinhye segera menyempatkan waktu untuk menemuinya. Acara saling rindu antara kakak-beradik itu terhenti oleh Nyonya Park yang tiba-tiba telah berada di ruang depan.

Annyeonghasseo, Jangmeonim,” sapa Yonghwa sembari membungkuk sopan pada ibu mertuanya. Ini adalah kedua kalinya ia dan Shinhye mengunjungi kediaman Park setelah resmi menikah.

Annyeonghasseo, Menantu Jung.”  Nyonya Park tersenyum lembut membalas sapaan pria itu. Ia kemudian mengalihkan perhatian pada kedua anaknya yang masih saling melepas rindu. “Jinyoung, apakah kau akan terus memeluk kakakmu dan tak menyapa kakak iparmu?”

“Ah! Matta!”

Pria itu akhirnya menyadari kehadiran Yonghwa yang sedari tadi hanya tersenyum menyaksikan. “Annyeonghasseo, Hyungbu,” ujarnya mengulurkan tangan untuk bersalaman. Sejujurnya ia tak terlalu dekat dengan kakak iparnya itu. Mereka hanya pernah bertemu satu hari sebelum pernikahan dan saat hari pernikahan.

“Annyeong, Jinyoung ah,” balas Yonghwa ramah, mencoba menggunakan banmal pada sang adik ipar. “Bagaimana kuliahmu?”

“Baik. Meskipun sedikit melelahkan karena aku sudah harus mulai mengerjakan tugas akhirku.”

“Menantu, ayo masuk. Ayah mertuamu sudah menunggu,” Nyonya Jung menyela, menghentikan pembicaraan antar saudara ipar itu.

Ne. Jangmeonim.”

Yonghwa berjalan memasuki rumah megah itu bersama dengan ibu mertuanya. Membiarkan Shinhye berjalan bersama Jinyoung. Kedua bersaudara itu tentu masih sangat ingin bersama satu sama lain.

 

~~~~~~~~

Jinyoung menguap kecil mendengar pembicaraan dua pria berbeda usia di hadapannya. Dalam hati ia merutuk, merasa kesal karena harus terjebak dalam pembicaraan politik yang sama sekali tak disukainya.

“Bagaimana dengan kampanye ayahmu. Kapan akan dimulai?” tanya Tuan Park.

“Sekitar satu setengah bulan lagi, Jangeoreun.”

Tuan Park mengangguk kecil. “Aku harap dia bisa memenangkan pemilihan ini. Aku yakin ada banyak perubahan baik yang bisa dilakukan oleh Hae Hwa.”

Ne, Jangeoreun. Aku harap juga seperti itu. Appa sudah membuat beberapa rencana kerja, salah satunya mengenai pajak impor pangan untuk melindungi petani.”

“Ah! Itu benar-benar ide yang bagus. Saat ini petani kita memang sedikit kewalahan karena impor yang semakin mudah,” ujar Tuan Park menyetujui.

“Pembicaraan kalian sepertinya sangat serius.”

Ketiga pria di ruangan itu seketika menoleh pada Shinhye yang baru saja datang dengan sebuah nampan berisi cangkir dan teh. Di belakangnya mengikuti seorang pelayan yang membawa nampan lain berisi kudapan ringan.

Yonghwa tersenyum kala melihat Shinhye dengan cekatan menyajikan makanan dan minuman tersebut di hadapan mereka. “Wae? Kau mau ikut bergabung bersama kami?” tawarnya kemudian.

“Dia bisa dimarahi eomma nanti.” Jinyoung menjawab untuk Shinhye.

Yonghwa yang kaget dengan jawaban adik iparnya mengerutkan kening tak mengerti. “Kenapa dimarahi?”

“Itu …–”

Sebelum Jinyoung bisa menjawab, Shinhye lebih dulu memotong ucapannya. “Tidak apa-apa. Aku masih harus membantu memasak makan malam, jadi kalian lanjutkan saja obrolan kalian, eoh?”

Tanpa membiarkan ketiga orang itu berbicara lagi, ia segera pergi dari ruangan bersama pelayan yang tadi mengikutinya. Sepeninggal Shinhye, Yonghwa masih penasaran dengan kata-kata adik iparnya. “Jinyoung ah, sebenarnya apa maksud ucapanmu tadi?”

“Karena eomma tak menyukai bila wanita ikut bergabung dalam obrolan para pria. Menurut eomma, wanita seharusnya tak ikut-ikutan dalam urusan pria.”

Mwo?” Yonghwa mengangkat kedua alisnya tak percaya. Pemikiran ibu mertuanya sungguh terlalu kuno menurutnya.

Hyungbu, ibu mertuamu adalah wanita yang masih sangat konvensional. Menurutnya, wanita hanya perlu berada di rumah mengurus keluarga saat sudah menikah. Ia bahkan memaksa noona untuk berhenti menjadi pemain balet. Dan ia juga …–”

“Park Jinyoung!” Tuan Park memotong ucapan putra bungsunya sebelum pria itu semakin menjelek-jelekkan ibu kandungnya sendiri. “Jaga bicaramu di depan kakak iparmu!” ucapnya tegas.

Jinyoung mendengus kesal. “Appa juga sama saja. Appa membiarkan eomma berbuat semaunya pada noona!” tutur pria itu marah. Ia lalu beranjak pergi meninggalkan ayah dan iparnya sendiri.

Tuan Park hanya mampu menghela napas panjang. Sejujurnya ia bisa mengerti perasaan Jinyoung. Pria yang baru beranjak dewasa itu terlalu menyayangi kakak perempuannya. Dan ia merasa tak suka saat ibunya selalu mengatur setiap kehidupan sang kakak bahkan hingga mendesaknya berhenti dari hal-hal yang ia sukai.

“Menantu Jung, tolong maafkan sikap Jinyoung tadi. Ia hanya terlalu menyayangi Shinhye,” ujar Tuan Park menyesal.

Yonghwa memberikan senyum maklum. “Gwaenchana Jangeoreun. Aku bisa mengerti sikapnya.”

Tuan Park mendesah pelan. Ia menyeruput teh yang tadi dibawa oleh Shinhye. “Kau tahu, aku sangat lega melihat pernikahanmu dan Shinhye baik-baik saja. Awalnya aku khawatir dan selalu menyalahkan diriku sendiri. Kalian berdua menikah karena perjodohan yang diatur oleh kami, para orangtua. Tapi melihat putriku mendapatkan suami yang baik dan membentuk keluarga yang bahagia, aku bisa bernapas dengan lega sekarang,” tutur Tuan Park.

Yonghwa hanya mampu memberikan senyum tipis. Mendengar ucapan ayah mertuanya membuat ia merasa sangat jahat. Jika Tuan Park tahu bagaimana hubungan pernikahannya dengan Shinhye, mungkinkah mertuanya itu masih akan tetap menganggapnya sebagai menantu yang baik?

“Menantu Jung, Shinhye kami sebenarnya sangat ceria. Hanya saja, karena sejak kecil ibunya selalu mendidik dia dengan keras, ia menjadi sangat dingin pada orang luar. Tapi sebenarnya Shinhye adalah anak yang baik dan sangat patuh pada orangtuanya, terlebih ibunya,” cerita Tuan Jung panjang.

Yonghwa mengangguk membenarkan. Ia tahu hal itu. Di balik sikap Shinhye yang kadang terlampau dingin, hati wanita itu sesungguhnya sangat hangat dan lembut. Shinhye bahkan memiliki rasa humor yang cukup baik. Terbukti dari beberapa candaan yang bisa saling mereka lempar beberapa waktu belakangan ini.

“Kalian mendidiknya dengan sangat baik, Jangeoreun,” puji Yonghwa jujur.

Tuan Park menggeleng pelan. “Tidak. Aku sadar ibunya mendidik Shinhye terlalu keras. Dan aku sama sekali tak bisa mencegahnya. Sedikit banyak aku tahu alasan istriku begitu keras pada Shinhye. Itu semua karena ibuku dulu banyak menuntut pada istriku agar bisa menjadi menantu, ibu, dan istri sempurna. Karena hal itu, maka ia juga mendidik Shinhye dengan keras, agar kelak Shinhye bisa menjadi menantu, istri, dan ibu yang sempurna,” tutur Tuan Jung lagi.

Yonghwa mendengarkan dengan saksama. Sekarang ia mengerti alasan kenapa Shinhye tampak memiliki jarak dengan orangtuanya, terutama sang ibu. Hubungan keduanya tak seperti pasangan ibu dan anak perempuan yang begitu dekat. Mungkin karena sejak kecil Shinhye terbiasa diatur dengan keras, sehingga saat dewasa tanpa sadar ia membuat benteng pertahanannya untuk ibunya sendiri.

 

~~~~~~~~~

 

Shinhye merebahkan dirinya di sofa empuk berwarna krem yang senada dengan dinding ruangan. Ia memijit pelan lehernya, merasa sedikit lelah. Baru saja ia menyelesaikan pekerjaannya di dapur. Memasak untuk lima orang dengan menu buffet lengkap ternyata sangat melelahkan. Meski dibantu oleh beberapa pelayan, namun tetap saja pekerjaan itu menguras seluruh energinya.

Bibir Shinhye membentuk senyuman lembut saat merasakan sepasang tangan lain memijit pundak dan lehernya. Tanpa harus melihat, ia sudah tahu siapa pemilik tangan tersebut.

Gumawo,” ujarnya sembari menutup mata, menikmati pijitan itu.

“Apa sangat melelahkan?”

“Sedikit,” jawabnya.

Jinyoung mendesah kesal. “Noona seharusnya menolak saat eomma menyuruhmu membantu memasak di dapur. Untuk apa kita punya lusinan pelayan jika kalian masih harus memasak sendiri.”

Mendengar komentar adiknya, Shinhye hanya tertawa kecil. “Sudahlah. Lebih baik kau duduk di sini.” Ia menepuk tempat kosong di sebelahnya.

Jinyoung tak membantah dan segera mengambil tempat di sebelah kakak tersayangnya. “Noona terlalu menurut pada eomma, Noona tahu?” ujarnya. Kini tangannya sibuk memijit lengan hingga telapak tangan Shinhye.

Wanita itu mengangguk mengakui. “Dan kau tak pernah sekalipun menurut pada eomma. Kalau eomma tahu kau tak bergabung dengan appa dan suamiku dan malah berada di sini, eomma pasti marah besar.”

Jinyoung mengerucutkan bibirnya malas. “Aku tak pernah suka dengan hal-hal yang berbau politik.”

Arra.” Shinhye menarik tangannya, menepuk punggung Jinyoung dengan bangga. “Adik tercintaku ini ingin menjadi arsitektur. Karena itu kau sampai jauh-jauh berkuliah ke Jepang bukan?”

Eoh,” angguknya cepat.

Kedua bersaudara itu masih sibuk bercengkrama saat tiba-tiba Nyonya Park melewati ruangan tersebut. Wanita paruh baya itu kini telah berganti pakaian menjadi gaun sederhana namun tetap elegan.

“Apa yang kalian lakukan di sini? Shinhye, bukankah eomma sudah mengatakan padamu untuk bersiap-siap.” Nyonya Park menatap sang putri yang masih mengenakan kaos v-neck dan rok biru tua tiga perempat. Wajahnya pun terlihat sedikit lusuh, akibat terlalu banyak mengeluarkan keringat saat tadi memasak.

Sadar akan kesalahannya, Shinhye segera bangkit dari tempatnya. “Mianhae Eomma, aku akan segera mengganti pakaianku,” ujarnya seraya beranjak pergi menuju kamar lamanya.

Setelah Shinhye pergi, pandangan Nyonya Park beralih pada putra bungsunya. “Dan kau Jinyoung, kenapa kau malah duduk di sini dan meninggalkan appa dan hyungbu-mu?”

“Karena aku malas,” jawab Jinyoung santai.

“Park Jinyoung! Tidak bisakah kau belajar sedikit dari kakakmu? Ia selalu patuh pada eomma.”

“Dan karena itu Eomma membuatnya hidup seperti boneka.”

Mworagu?” Nyonya Park menaikkan volume suaranya, tak percaya dengan kata-kata putranya sendiri.

Jinyoung mendengus pelan. “Eomma mendengarnya dengan baik. Selama dua puluh enam tahun hidup noona, Eomma selalu menjadikannya sebagai boneka. Eomma menyuruhnya berlatih balet sejak kecil, dan Eomma juga yang memaksanya berhenti. Eomma melarangnya berpacaran karena Eomma sudah punya calon menantu pilihan. Eomma, seluruh hidup noona, seluruhnya kau yang mengatur. Apa Eomma tak menyadarinya?” ujarnya meluap-luap.

Nyonya Park hanya terdiam mendengar rentetan kalimat dari putra bungsunya. Ia mengakui semua yang dikatakan Jinyoung adalah benar. Dirinya selalu mengatur Shinhye, tanpa sadar menjadikannya seperti sebuah boneka. Tapi itu semua ia lakukan agar putrinya itu bisa hidup dengan nyaman. Menjadi wanita yang hebat, menikahi pria baik-baik, dan diterima dengan baik oleh keluarga suaminya.

Dan hal itu terbukti sekarang. Lihatlah, Shinhye memiliki kehidupan rumah tangga yang sangat bahagia. Mertuanya pun begitu menyayangi Shinhye layaknya putri mereka sendiri. Jadi, meskipun kata-kata Jinyoung tadi merupakan suatu kebenaran, Nyonya Park tetap tak menyesal.

“Jika kau sudah selesai bicara, maka sebaiknya kau pergi ke ruang keluarga. Katakan pada ayah dan kakak iparmu bahwa makan malam sudah siap.”

Jinyoung memandang ibunya tak percaya. Bahkan setelah ia mengatakan semua isi hatinya, wanita yang disebut sebagai ibu itu masih tetap tak tergerak. Dengan menahan amarah Jinyoung berjalan meninggalkan ruang tengah itu, menyisakan Nyonya Park yang matanya mulai memerah.

 

~~~~~~~~~

 

Suara musik klasik menggema di seluruh kamar utama kediaman keluarga muda Jung. Di atas kasur, berbaring sang wanita empunya kamar. Kepalanya bergoyang pelan mengikuti irama. Bibirnya melengkung sempurna, membentuk sebuah senyuman.

Kedamaiannya terganggu saat pintu kamar terbuka, memperlihatkan sosok Yonghwa yang baru saja pulang bekerja.

“Kau sudah pulang?” tanya Shinhye terkejut. Saat ini ia sudah bangkit dari posisinya. Mata wanita itu melirik pada jam di dinding. Masih pukul 4 sore, terlalu awal untuk pria itu pulang.

Yonghwa tersenyum kecil mendapati ekspresi keheranan dari wajah sang istri. “Tadi aku hanya menghadiri rapat parlemen saja. Dan karena tak ada hal yang harus aku kerjakan di kantor, jadi aku memutuskan langsung pulang setelah rapat berakhir,” ujarnya menjelaskan.

Shinhye mengangguk mengerti. Ia mengambil tas kerja serta jas yang baru saja Yonghwa lepaskan. Menaruh keduanya di tempat masing-masing.

“Ini lagu apa?”

“Oh?”

Wanita itu mengalihkan pandangannya dari keranjang berisi pakaian kotor. Ia baru menyadari bahwa musik yang tadi ia dengarkan masih berkumandang dari pengeras suara yang terkoneksi dengan ponsel pintarnya.

“Apa ini lagu pengiring balet?” tanya Yonghwa lagi. Tangannya sibuk membuka dasi serta kancing kemeja bagian atas yang terasa mencekik.

Shinhye mengangguk singkat sebelum berjalan menuju ponselnya, menghentikkan lagu untuk terus mengalun.

“Kenapa dimatikan?”

Geunyang ….” Shinhye mengangkat kedua bahunya pelan, tak memberikan jawaban pasti.

Ia kemudian berjalan ke ruang ganti yang berada di sudut kamar tersebut. Tak berapa lama ia kembali dengan sepasang pakaian ganti untuk Yonghwa. Pria itu menerimanya, namun tak langsung beranjak menuju kamar mandi. Ia lantas duduk di sofa kecil berwarna hijau muda yang kontras dengan warna lain di ruangan tersebut.

“Apa kau ingin kembali menari lagi?” tanyanya tiba-tiba.

Shinhye terhenyak sejenak, tak menyangka suaminya akan bertanya hal seperti itu. “Anni.”

Wae? Aku tidak keberatan jika kau tetap ingin menari.”

Anniyo. Aku sudah tak ingin lagi menari,” tolaknya dengan seulas senyum tipis.

Yonghwa menghela napas pelan. Ia tahu Shinhye berbohong. Jika wanita itu tak lagi ingin menari, maka ia tak akan menyimpan semua lagu-lagu klasik pengiring balet. “Apa karena jangmeonim melarangmu?”

Pandangan mata Shinhye jatuh pada pria itu, menatapnya tajam, menyiratkan bahwa ia tak suka dengan kata-katanya tadi. “Yonghwa ssi, kurasa kau sudah–”

“Melewati batas,” potong Yonghwa cepat. Kepalanya terangkat untuk memandang Shinhye yang kini sudah berdiri di hadapannya dengan satu tangan di pinggang. “Kau tahu, kau sudah dewasa dan bisa mengikuti kata hatimu sendiri. Hanya anak kecil yang tak bisa membuat keputusan sendiri. Ini hidupmu, bukan hidup ibumu, ayahmu, atau keluargamu.”

Berhenti,” lirih Shinhye. Ia tak suka dengan kata-kata Yonghwa yang terasa menghakiminya. Meski kalimat seperti ini sering ia dengar dari adik atau sahabat-sahabatnya, namun mendengarnya dari Yonghwa terasa berbeda. Ia merasa sakit, seolah ucapan pria itu adakah pisau tajam yang menguliti topengnya.

Yonghwa tak juga berhenti. Ia ingin Shinhye tak lagi menjadi boneka untuk orang lain. “Shinhye, kau tak bisa hidup seperti ini. Jika kau ingin menari, maka menarilah. Setidaknya kau harus menikmati hidupmu, melakukan apa yang kau suka dan hidup bahagia sebagai wanita.”

“Hidup bahagia sebagai wanita?” Shinhye bertanya dengan nada sinis. “Yonghwa ssi, apakah kau benar-benar serius dengan ucapanmu?”

Eoh.”

“Kalau begitu aku ingin kita bercerai.”

Mwo?” Yonghwa terkejut mendengar permintaan Shinhye. “Apa kau gila?”

“Kau menyuruhku untuk hidup bahagia. Apa menurutmu seorang wanita bisa hidup bahagia saat tak ada cinta dalam pernikahannya? Apa menurutmu seorang wanita bisa hidup bahagia saat suaminya memiliki kekasih lain? Anni. Tidak akan ada wanita normal yang bisa bertahan dalam keadaan seperti itu.”

Ia memandang marah pada Yonghwa. Berhenti sebentar untuk menarik napas. Berusaha sebaik mungkin mengontrol emosinya. Tidak. Ia tak ingin menangis lagi di depan pria ini.

“Yonghwa ssi, aku bisa hidup seperti ini karena mendengarkan semua perintah ibuku. Ia mendidikku menjadi istri dan menantu yang sempurna, yang selalu menjaga kehormatan keluarganya. Aku tidak dididik untuk menjadi wanita yang bahagia! Karena itulah aku bisa bertahan meski suamiku menjalin cinta dengan wanita lain. Aku bisa bertahan meski pernikahan yang kujalani hanyalah sebuah sandiwara,” tuturnya cepat.

Shinhye menarik napas sekali lagi. Pandangannya terkunci pada pria yang kini terpaku. Tampaknya Yonghwa tak menyangka pengakuan seperti itu akan keluar dari mulut istrinya. “Aku … minta maaf.” Hanya tiga kata itu yang bisa Yonghwa ucapkan.

“Lupakan saja.”

Shinhye menipiskan bibirnya, mengunci mulut agar tak lagi menguak isi hatinya. “Lebih baik kau segera mandi,” ujarnya lantas beranjak keluar dari kamar.

Pergi dari tempat ini akan lebih baik. Masing-masing dari mereka bisa memiliki waktu berpikir sendiri. Meskipun sebenarnya cara ini adalah kata lain dari menghindar. Menjadi pengecut, dan membiarkan masalah tak terselesaikan.

 

~~~~~~~~

 

“Shin ah! Ada laba-laba di kepalamu!”

Teriakan Sora seketika mengaburkan lamunan Shinhye. Wanita itu segera berdiri ketakutan. “Aaah! Di mana Sora yah? Di mana laba-labanya?” teriaknya histeris, tak peduli meski beberapa pelanggan lain di kafe ini mulai memandang heran ke arahnya.

“Sora yah! Kumohon buang laba-laba itu dari kepalaku,” rengeknya memaksa. Kakinya berlari kecil di tempat sedang kepalanya bergerak-gerak sendiri, mencoba membuat gerakan agar binatang menakutkan itu pergi dari tubuhnya.

Sora tertawa kencang melihat reaksi Shinhye. Sahabatnya itu bahkan tak menyadari bahwa ia sedang berbohong. “Aigoo …. Geumanhae, Shin ah! Aku hanya berbohong.”

Mwo?”

Shinhye mendadak berhenti bergerak. “Yya! Kang Sora!” teriaknya tertahan. Matanya mulai memperhatikan sekeliling. Tampak beberapa orang tersenyum geli ke arahnya. Mungkin merasa geli bercampur heran melihat kelakuan seorang Park Shinhye yang terkenal begitu anggun dan elegan, tiba-tiba berubah 180 derajat.

Merasa malu, wanita itu segera kembali duduk di tempatnya. Berharap orang-orang kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. “Kang Sora, kau benar-benar menyebalkan,” desisnya kesal.

Sora yang masih terlihat cekikikan hanya bisa meminta maaf. “Maaf, maaf. Hanya saja sedari tadi kau terus melamun. Padahal aku sedang membicarakan mengenai kepulangan Taec oppa.”

“Taec oppa akan pulang? Ok Taecyeon oppa?” tanya Shinhye tak percaya. Ia sudah melupakan kekesalannya mendengar kabar mengejutkan itu. “Bukankah terakhir ia sedang meliput di Mesir?”

Ne.” Sora mengangguk membenarkan. “Tapi dia akan pulang satu atau dua minggu lagi. Kurasa Ok Samchoon yang memintanya pulang. Waktu lima tahunnya sudah hampir habis.”

Shinhye mengangguk mendengar penjelasan Sora. Ok Taecyeon, satu-satunya sahabat yang ia miliki selain Sora. Mereka sudah saling mengenal sejak kecil, karena pria itu adalah kakak sepupu dari Sora.

Sudah sekitar lima tahun mereka tak pernah bertemu. Taecyeon memutuskan untuk berkeliling dunia dan menjadi jurnalis berita internasional. Mengejar hasratnya. Beruntung kedua orangtuanya menyetujui, dengan syarat Taecyeon harus kembali ke Korea setelah lima tahun dan mengambil alih perusahaan penyiaran milik keluarganya.

“Kenapa kau tak mengatakannya dari tadi?”

Sora mendengus kesal. “Huh? Aku sudah mengatakan itu sejak kau datang. Tapi kau malah melamun sendiri,” tuturnya sebal. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kayu yang ia duduki. Tangannya dilipat di depan dada. “Apa kau sedang ada masalah dengan ibumu?”

Shinhye menjawab dengan gelengan pelan.

“Kalau begitu kau ada masalah dengan suamimu?”

Kali ini wanita itu tak menjawab. Ia hanya diam. Bingung. Shinhye menundukkan kepala, menatap kedua tangannya yang bertautan di atas meja.

“Ada apa? Apa kalian bertengkar?”

Shinhye menggeleng. Masalahnya dengan Yonghwa kemarin sudah selesai. Setelah menenangkan diri beberapa saat, Yonghwa mendatanginya untuk meminta maaf. Keduanya menghabiskan waktu cukup lama sebelum akhirnya sepakat untuk melupakan perdebatan mereka tadi.

“Kalian bertengkar?” tanya Sora lagi saat Shinhye tak juga menjawab pertanyaannya.

Anni.”

“Lalu kenapa?”

Shinhye mengembuskan napas berat. Ia terdiam sejenak, menimbang-nimbang untuk bercerita. “Akhir-akhir ini aku merasakan hal yang aneh saat bersamanya.”

“Yonghwa?”

Eoh.” Angguk Shinhye lemah.

Sora mencondongkan badan ke depan, penasaran dengan kisah sahabatnya. “Hal aneh seperti apa?”

“Entahlah.” Wanita itu mengangkat kedua bahunya pelan. “Terkadang aku merasa sangat bahagia saat bersamanya, namun di saat bersamaan aku merasa sangat sesak. Begitu sesak sampai rasanya aku ingin berlari pergi,” tuturnya perlahan.

“Dan kau merasa lebih sakit saat tak bersama Yonghwa?” tanya Sora kemudian.

“Bagaimana kau bisa tahu?”

Sang pemain balet profesional itu tersenyum kecil. Ia menyesap iced lemon tea miliknya sebentar, sengaja membuat Shinhye menunggu. “Kau jatuh cinta padanya,” ujarnya membuat kesimpulan.

Mwo?” Shinhye membuka sedikit mulutnya. Menganga. Otaknya berusaha mencerna kata-kata Sora.

“Kau jatuh cinta pada suamimu. Jung Yonghwa. Kau sudah jatuh cinta pada pria itu,” ulang Sora sembari tersenyum tulus. “Itu benar-benar hal yang baik Shin ah. Kau tahu betapa aku sangat mencemaskan pernikahan kalian. Hidup bersama dalam suatu pernikahan tanpa ada rasa cinta tentu akan membuatmu merasa seperti di penjara.”

Shinhye mencoba mencerna kata-kata Sora dengan baik. Memikirkan betapa ia memang seperti hidup dalam sangkar emas dulu. Meski tak ada larangan apa pun dari Yonghwa, meski pria itu memberinya kebebasan penuh, namun beban untuk menjaga pernikahan sakral itu membuat Shinhye merasa terjebak.

“Apa itu berarti Yonghwa merasa hidup di penjara?” tanya Shinhye bergumam, namun masih bisa didengar jelas oleh Sora.

“Shinhye yah–”

“Ini benar-benar sulit Sora yah. Ini benar-benar sulit,” lirihnya dengan senyum pahit.

 

~~~~~~~~~

 

Hara menggeram marah membaca salah satu halaman dalam tabloid bulanan langganannya. Untuk ke sekian kalinya, ia harus membaca berita seputar kehidupan pasangan muda Jung Yonghwa dan Park Shinhye. Tentu saja cerita yang muncul tak jauh dari kehidupan rumah tangga mereka yang begitu harmonis, lalu sesekali beralih pada kabar pencalonan Jung Hae Hwa sebagai calon presiden.

Dengan mata memerah, wanita itu menguatkan hati untuk terus membaca rangkaian kata hasil tulisan para jurnalis. Rasa nyeri tak bisa ia hindarkan saat kalimat penuh cinta dari Yonghwa untuk istrinya ditulis dalam kalimat langsung.

Bohong.

Yonghwa hanya sedang berakting.

Mereka hanya memainkan perannya.

Kalimat-kalimat itu terus diucapkan Hara, layaknya sebuah mantra mujarab. Namun sayang, meski terus diulang, kalimat-kalimat itu tak bisa membuatnya tenang. Apalagi setelah melihat foto pasangan itu terlampir di halaman selanjutnya. Melihat sorot mata penuh cinta dari Yonghwa yang sedang memandang Shinhye dan merangkulnya, membuat Hara cemburu. Jika mulut bisa berbohong, maka mata tak akan menipu.

Hara menghela napasnya panjang, berusaha menenangkan diri. Tidak. Cinta Yonghwa padanya tak mungkin berubah. Meski satu setengah bulan tak pernah lagi bertemu, Yonghwa tak mungkin akan berpaling pada wanita itu. Tidak. Itu tidak akan terjadi. Hara bersumpah tak akan membiarkan pria itu mencintai wanita lain selain dirinya.

 

~~~~~~~~

 

Mereka bilang cinta adalah hal yang tak pernah bisa dipikirkan oleh logika. Kadang getaran cinta bisa terasa sejak pandangan pertama, namun tak jarang cinta tumbuh setelah waktu yang lama. Tiba-tiba, tanpa bisa dimengerti perasaan itu tumbuh berbunga begitu saja.

Seperti apa rasanya jatuh cinta? Sepertinya sulit untuk didefinisikan dalam kata-kata. Namun menurut kebanyakan orang, cinta adalah saat kita bisa tertawa hanya dengan melihat sosok tersebut. Tersenyum saat ia bahagia, dan turut kecewa saat ia bersedih. Was-was saat ia tak ada di sekitar, tapi berdebar dan gugup saat berada di dekatnya.

Yonghwa tak pernah mengerti kata-kata itu. Baginya cinta adalah sebuah pengenalan yang nantinya akan membawa pada suatu kenyamanan yang nyata. Tak salah, tentu saja. Karena definisi cinta adalah subjektif, bukan suatu ilmu pasti. Tapi saat Yonghwa mengenal wanita lain lebih baik lagi, saat ia merasa lebih nyaman dengan wanita lain, apakah itu berarti cintanya yang lalu telah berganti?

“Yonghwa ssi, apa kau serius ingin membantuku?”

Suara Shinhye membuat Yongwa terlonjak kaget. Ia baru menyadari keadaannya saat ini. Berada di dapur bergaya modern minimalis, dengan celemek biru tua melekat di tubuhnya. Tangannya memegang sebuah pisau yang saat ini berhenti bergerak karena otak pria itu tadi sibuk mengembara ke mana-mana.

“Kau bilang akan membantuku memasak tapi kau malah melamun. Lihatlah! Wortel-wortel itu bahkan setengahnya belum terpotong,” kesal Shinhye. Ia menggembungkan pipinya, membuat ekspresi sebal yang hanya diberikan pada orang-orang terdekat. Bahkan ibunya sendiri mungkin tak pernah melihat raut wajahnya yang seperti ini.

Yonghwa menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Merasa malu karena ketahuan melamun. “Maaf, aku sedang memikirkan sesuatu tadi,” ucapnya memberi alasan. Untung saja wanita itu tak bisa membaca pikirannya. Jika tidak Shinhye pasti akan menertawakannya. Sebab akar segala lamunannya adalah wanita itu sendiri.

“Apakah terjadi sesuatu di pemerintahan?” tanya Shinhye khawatir.

Yonghwa menggeleng cepat, memberikan senyum menenangkan. “Tidak. Tidak ada masalah apa-apa. Aku hanya berpikir mengenai kemungkinan untuk membuka rumah makan jika kelak tersingkir dari kursi anggota dewan.”

“Kau bahkan tak bisa memotong sayur dengan benar,” ejek Shinhye bercanda.

“Tentu saja kita akan membuka restoran bersama. Kau harus membantuku menjalankan usaha itu nanti,” sahut Yonghwa santai. Tak sadar bahwa kata-katanya mampu membuat Shinhye tersipu. Hei! Ia baru saja memasukkan wanita itu dalam rencana masa depannya, meski dalam konteks candaan.

“Sudahlah berhenti mengkhayal. Sebaiknya kau cepat selesaikan pekerjaanmu!” Wanita itu mencoba menghilangkan pikiran gilanya dengan menyudahi pembicaraan ini.

Yonghwa menurut. Ia segera kembali melakukan tugasnya memotong-motong sayuran yang dibutuhkan oleh Shinhye. Mereka memang sedang memasak makan malam hanya berdua, tanpa bantuan pelayan sama sekali. Entah siapa yang pertama mengusulkan ide ini, namun Yonghwa sangat menikmatinya. Memasak berdua dengan wanita itu membuatnya merasakan kehidupan pernikahan normal yang selama ini diidamkan.

Baru saja ia selesai memotong satu buah wortel, handphone di saku celananya berdering. Yonghwa mengumpat pelan pada sang penelepon. Ia hendak menolak panggilan tersebut namun tak jadi saat melihat nama yang tertera di layar.

“Siapa?” tanya Shinhye heran. Pasalnya Yonghwa hanya termangu menatap ponsel tanpa berinisiatif untuk mengangkat panggilan tersebut.

Yonghwa sedikit gelagapan. “Anni. Hanya Sekretaris Kim. Aku akan mengangkatnya di luar.”

Dengan tergesa-gesa pria itu berjalan keluar dari dapur, membiarkan Shinhye yang mengerutkan kening heran. Langkah kakinya membawa Yonghwa memasuki perpustakaan pribadinya di lantai dua. Tempat di mana privasinya paling terjaga. Dering ponsel belum juga berhenti meski sudah dua kali panggilan gagal tersambung.

Yeoboeseo.”

Suara di seberang telepon mendesah lega. “Akhirnya kau mengangkat teleponku.”

“Ada apa?” tanya Yonghwa tak berbasa-basi.

Mwoya? Apa pertanyaan seperti itu yang harus aku dengar dari kekasihku setelah hampir dua bulan kita tak berkomunikasi?”

“Hara yah–”

“Aku merindukanmu,” ujar wanita itu sebelum Yonghwa sempat melanjutkan.

Pengakuan Hara membuat Yonghwa menghela napas berat. Rasa bersalah seketika menjalar di tubuhnya. Pada Shinhye serta Hara, ia merasa telah melukai dua wanita itu secara bersamaan.

“Aku ingin bertemu denganmu Yong ah.”

“Hara yah, kau tahu aku tidak bisa. Reporter mungkin saja mengikutiku. Aku tidak ingin ada skandal yang terjadi.” Yonghwa mencoba memberi alasan.

“Kalau begitu aku yang akan ke tempatmu,” tawar wanita itu. “Jika aku ke rumahmu maka reporter-reporter itu tidak akan curiga. Selama hal itu tidak menimbulkan skandal, kurasa wanita itu juga tidak akan keberatan, bukan?”

Anni,” tolak Yonghwa cepat. Ia tidak bisa membiarkan Hara bertemu dengan Shinhye. Tidak. Itu tidak boleh terjadi. “Aku akan mencari waktu untuk ke tempatmu.”

“Aku ingin bertemu sekarang.”

“Jangan sekarang. Aku tidak bisa.”

“Kalau begitu aku akan segera pergi ke rumahmu,” ujar Hara mengancam.

Yonghwa menarik napas dalam-dalam. Tangannya mengusap wajah dengan gusar. Hara bisa menjadi sangat berani di saat-saat seperti ini. “Baiklah. Aku akan menemuimu sekarang.”

Hara mendengus pelan. Semua keraguannya pada pria itu kini semakin menjadi. Intuisinya mungkin tepat. Hati pria itu sudah berubah. Terbukti dengan penolakan keras dari Yonghwa saat ia ingin datang ke rumahnya. Seolah tak ingin jika ia bertemu dengan Shinhye. Padahal dulu hal itu tak pernah jadi soal.

Setelah sambungan terputus, wanita itu lantas mencari kontak lain. Ia menunggu beberapa saat sebelum panggilannya dijawab.

“Halo, Reporter Choi,” sapanya pada wanita di seberang telepon. “Aku punya berita menggemparkan untukmu. Jika kau ingin tahu, datanglah ke apartemenku sekarang.”

Tanpa menunggu jawaban sang reporter wanita, Hara langsung saja mengakhiri panggilan. Seringaian tajam terbentuk di wajah cantiknya. Rencana gila yang sudah lama disiapkan kini akan ia laksanakan. Tidak. Ia tak akan membiarkan Yonghwa lepas dari genggamannya begitu saja. Jika pria itu mulai meragu, maka ia akan mencari cara untuk mempertahankannya sekuat tenaga.

 

~~~~~~~~~

 

Shinhye menatap heran pada Yonghwa yang baru saja kembali ke dapur. Pakaiannya kini sudah rapi, layaknya akan pergi bekerja. Apron yang tadi ia gunakan sudah tak melekat di tubuhnya.

“Kau mau ke mana?”

Yonghwa tersenyuk kikuk. “Ada hal yang harus kuurus di kantor.”

“Apa ada masalah?”

“Tidak, tidak,” sanggah pria itu cepat. “Aku hanya perlu menandatangani beberapa surat untuk masalah pergantian pengurus harian partai.”

Shinhye menatap kecewa. “Benarkah?”

Eoh.”

Yonghwa berbohong. Tak ada hal apa pun yang harus dikerjakan di kantor. Oh, ayolah, bahkan pergantian pengurus baru saja dilakukan beberapa minggu yang lalu.

“Maaf,” ujarnya melihat ekspresi kecewa dari istrinya. Dalam hati ia mengutuki dirinya sendiri.

Shinhye mencoba tersenyum, menelan kekecewaannya. “Gwaenchana. Kka! Pergilah! Sekretarismu mungkin menunggu di kantor.”

Eoh.”

Yonghwa mengangguk pelan. Ia berjalan keluar dari dapur. Baru beberapa langkah ia kembali berbalik membuat Shinhye mengernyit heran. “Ada apa?”

“Itu ….” Pria itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ragu untuk mengatakan keinginannya. “Itu ….”

Wae?” tanya Shinhye sabar.

Yonghwa menarik napas pelan. “Bisakah kau menungguku makan malam? Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu,” tanyanya pelan.

“Bahkan tanpa kau minta, aku selalu menunggumu bukan?”

“Benar. Tapi kali ini aku ingin kau menungguku. Bukan karena kau harus melakukannya, tapi karena aku yang meminta,” ujarnya serius.

Shinhye mengulum senyum. Permintaan sederhana pria itu bisa membuatnya tersipu. “Arraso.” Shinhye mengangguk yakin. “Aku akan menunggumu.”

Gumawo, Shin ah,” ucap Yonghwa lega. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman ketika melihat wajah kaget Shinhye. Mungkin terkejut karena ini pertama kali ia memanggil wanita itu dengan nama kecilnya.

Yonghwa hendak berjalan pergi, namun urung dan kembali berbalik. Ia tersenyum, berjalan mendekati Shinhye. “Aku lupa sesuatu.”

Bola mata Shinhye membesar gugup saat pria itu semakin maju mendekat dan dalam sekejap mengecup pipi kanannya. Kontan wajahnya bersemu merah, tak menyangka aksi Yonghwa. Ini untuk pertama kali, pria itu mencium pipinya bukan di depan umum. Biasanya kontak fisik hanya dilakukan di depan banyak orang, sebagai suatu sandiwara.

“Kau harus menungguku, eoh?”

Tak tahu harus merespon seperti apa, Shinhye hanya mampu mengangguk canggung. Ia bahkan tak berani menatap mata pria itu. Ah, wajahnya pasti sudah memerah seperti tomat.

Yonghwa tersenyum lebar. Ia mengacak rambut wanita itu pelan sebelum benar-benar pergi dari dapur. Baru setelah pria itu berjalan menjauh, Shinhye berani mengangkat wajahnya. Senyumnya terbentuk sempurna saat melihat punggung suaminya menjauh, dan akhirnya menghilang di balik dinding ruangan.

“Cepatlah pulang, Yonghwa ssi,” bisiknya pada diri sendiri.

Harapannya membumbung tinggi.

Mungkin perasaannya akan mulai terbalaskan.

 

~~~~~~~~~

 

Ting tong …. Ting tong ….

Suara bel membuat Hara melompat cepat dari sofa. Ia segera membuka pintu setelah melihat sosok yang diharapkannya tengah berdiri di depan pintu. Pria itu tampak sedikit gusar, matanya melirik ke kiri dan kanan.

“Yong ah, bogoshiposo.”

Tanpa basa-basi Hara segera memeluk Yonghwa erat, membuat pria itu jengah. “Hara yah, hentikan.” Pintanya melepaskan lengan wanita itu yang melingkar posesif di bahunya.

“Aku hanya begitu merindukanmu,” lirih Hara menatap lekat wajah sang kekasih dari dekat.

Yonghwa menghela napas berat. “Lebih baik kita masuk sekarang,” ujarnya. Ia takut akan ada orang yang melihat mereka.

Hara menggeser tubuhnya sedikit, mempersilakan pria itu untuk masuk terlebih dahulu. Ia tersenyum penuh kemenangan saat sosok berpakaian serba hitam terlihat bersembunyi di belokan lorong gedung apartemen. Tangannya memegang sebuah kamera DSLR.

Saat ia kembali masuk ke dalam apartemennya, Yonghwa sudah duduk di sofa ruang tamu. Pria itu tampak termenung, larut dalam pikirannya sendiri.

“Apa yang kau pikirkan, Chagi?” tanya Hara manja. Ia duduk di sebelah Yonghwa dengan dagu bertumpu pada bahu pria itu. Matanya memperhatikan saksama garis wajah sempurna itu dari samping.

Yonghwa yang merasa jengah segera melepaskan diri dari Hara. Ia menatap wajah wanita itu sekilas sebelum mengalihkan pandangan pada layar televisi besar di hadapannya.

“Hara yah, kita akhiri saja hubungan kita ini,” ujarnya tiba-tiba.

Hara terdiam. Mematung. Ia sudah menduga kalimat seperti itu cepat atau lambat akan keluar dari mulut Yonghwa. Namun Hara tak menyangka akan secepat ini. Pria itu bahkan tak mengucapkan salam atau sekedar berbasa-basi bertanya kabar padanya.

“Apa … yang kau katakan?” tanyanya terbata, mencoba bersikap seperti wanita polos yang tak mengerti apa-apa.

Yonghwa menghela napas dalam. Ia mengalihkan wajahnya, kini fokus pada Hara yang terlihat bingung. “Kita harus menghentikan ini semua. Hubungan yang kita jalani, akhirnya aku sadar bahwa itu semua tidak benar.”

“Kenapa baru sekarang?” lirih wanita itu. Matanya menatap Yonghwa tajam. “Kenapa baru sekarang!?” teriaknya kali ini. “Kita sudah menjalani hubungan ini sangat lama. Kita tahu bahwa ini memang hubungan yang terlarang, tapi kita tetap melakukannya, bukan?”

Yonghwa terdiam. Ia tahu ini pasti terlalu mengejutkan untuk Hara. Jika wanita itu ingin memaki atau bahkan memukulnya, ia tak akan keberatan. “Maaf.” Hanya satu kata itu yang akhirnya bisa keluar dari mulut Yonghwa.

Hara mendengus pelan. Ia menelan ludahnya berat. “Kau mencintai wanita itu, huh?”

Yonghwa tak menjawab. Pandangannya jatuh pada karpet merah di bawahnya. Tak berani menatap Hara, tak juga berani menjawab pertanyaannya.

Hara tertawa pahit. Sikap diam pria itu justru memberi jawaban tersirat untuk pertanyaannya. Tak percaya rasanya, untuk semua pengorbanan yang ia lakukan, Yonghwa justru sampai hati meninggalkannya. Ia bahkan rela menjadi seorang simpanan, namun pria itu justru jatuh cinta pada wanita lain.

“Apa? Apa yang membuatmu jatuh cinta pada wanita itu, eoh? Bukankah kau bilang dia seperti robot? Bukankah kau bilang wanita itu sangat dingin? Bukankah kau bilang kau tak mungkin akan jatuh hati padanya?” tanya Hara marah. Ia masih ingat bagaimana Yonghwa meyakinkan dirinya bahwa ia tak akan jatuh cinta pada Shinhye.

Pria itu masih terdiam. Yonghwa juga tak mengerti bagaimana perasaanya bisa berubah. Jujur saat pertama mengenal Shinhye tak pernah terbersit sedikit pun kemungkinan untuknya mencintai wanita itu. Saat pertama mereka bertemu, sikap lembut dan sopan Shinhye justru terasa memuakan baginya. Ia seperti bercermin, melihat pantulan gambar dirinya sendiri. Seorang anak penurut yang tak bisa menolak perintah orangtuanya.

Awal pernikahan, hal itu masih belum berubah. Shinhye tampak seperti boneka, melakukan segala hal sesuai aturan yang ada. Wanita itu setuju saat diminta bersandiwara, bahkan tak marah saat dirinya ketahuan berselingkuh.

Namun semakin lama mengenal sosok itu, Yonghwa justru merasakan perasaan aneh yang menjalarinya. Sikap tenang Shinhye membuatnya nyaman. Candaan dan senyum manisnya membuat Yonghwa tak sadar ikut tertawa bahagia. Saat wanita itu marah, kecewa, atau bersedih, Yonghwa selalu merasa sesak. Bersama Shinhye, seluruh perasaannya bercampur aduk. Namun saat tak bersamanya, otaknya tak mau berhenti berpikir tentang wanita itu, dan hatinya selalu tak tenang.

Berbeda dengan Hara. Keberadaan wanita itu memang membuat Yonghwa nyaman. Namun hanya itu saja. Tak lebih. Mungkin ini kesalahannya. Mendefiniskan cinta sebagai suatu hal sederhana. Kenyataannya cinta memiliki kerumitan tersendiri. Itulah alasan banyak pujangga berkata kita tak bisa mendefinisikan cinta sampai cinta itu datang.

Cinta bukan hanya tentang kenyamanan, bukan juga hanya tentang perasaan bahagia. Bukan sekedar jantung yang berdegup kencang atau rasa rindu yang mendalam. Bukan juga melulu tentang rasa sakit atau sesak karena sang kekasih. Kompleksitas cinta inilah yang baru Yonghwa sadari. Ia akhirnya mengerti, bisa membedakannya.

“Maafkan aku. Aku sungguh-sungguh minta maaf, Hara yah,” ujarnya sebelum benar-benar pergi dari tempat itu. Meninggalkan Hara sendiri.

“Aaaarghh!!!”

Hara berteriak marah sesaat setelah Yonghwa menutup pintu dari luar. Wajahnya memerah. Marah, kecewa, sedih, semua perasaan tak enak bercampir baur menjadi satu.

Dengan emosi yang masih tinggi, ia mengambil ponsel, menghubungi seseorang dengan nama Reporter Choi. Pada nada sambung ketiga, panggilannya terhubung. Tak sampai satu menit, pembicaraan keduanya berakhir. Setelahnya muncul notifikasi di handphone wanita itu. Sebuah pesan elektronik berisi beberapa tautan gambar dari alamat email milik sang reporter baru saja masuk. Hara tersenyum licik. Jika Yonghwa ingin mengakhiri hubungan mereka, maka ia tidak akan membiarkan pria itu hidup bahagia.

 

~~~~~~~~~~

 

Sebuah mobil sedan berwarna hitam mengkilat melaju dengan kecepatan tinggi. Sang pengendara tampak tak fokus. Pandangannya kosong seolah pikiran dan jiwa tak menyatu dengan raganya. Mata besar itu tampak bengkak memerah, pertanda ia baru saja menangis hebat. Namun tetap saja, meski sudah hampir habis air matanya, butiran kristal bening itu masih saja jatuh, menganak sungai di pipinya, mengaburkan pandangannya.

Jalanan semakin menyepi, pertanda mobil sudah memasuki lingkar luar kota yang memang tak pernah seramai jalanan utama Seoul. Shinhye menarik pedal semakin dalam. Tak peduli meski kecepatan mobil itu bisa saja mencelakainya. Sesungguhnya ia ingin mati saja. Pergi dan menghilang dari dunia ini, meninggalkan semua rasa sakit yang semakin menusuknya.

Tak pernah ia bayangkan dirinya akan mengalami semua kesesakan ini. Ia mengumpat dalam hati lalu mentertawai semua kebodohannya. Tak sampai satu jam yang lalu hatinya masih bahagia dan berbunga-bunga. Namun sebuah pesan singkat ditambah beberapa gambar yang masuk ke emailnya membuat seluruh indera perasanya kebas karena rasa sakit yang terlalu parah.

Ia pikir akhirnya akan ada cinta tulus seseorang untuknya. Ia pikir rasa yang baru tumbuh subur itu akhirnya akan terbalaskan. Namun tentu saja, bagi wanita yang tak pernah mengenal cinta sebelumnya, ia terlalu naif untuk bermimpi.

Saat air mata terakhirnya jatuh, saat itu pulalah ia kehilangan kesadaran. Otaknya tak lagi bermain logika. Benar atau salah tak lagi dipertimbangkan. Dengan satu hentakan, Shinhye membanting setir ke sisi kanan, tempat jembatan besi pengaman antara jalan dan jurang kecil di sebelahnya berada. Wanita itu lalu menutup mata rapat, berdoa agar terlepas dari semua luka yang menghimpitnya semakin berat.

 

~~~~~BERSAMBUNG~~~~~

Notes:

Well, part ini sengaja aku kirim untuk menyambut comeback-nya CNBLUE. Udah mulai menemukan arah ceritanya? Sedikit bocoran, ide ceritanya aku dapet setelah aku selesai nonton Marriage not Dating dan Nice Guy tepat setahun yang lalu ^^

Untuk ff lain masih sedang berusaha dikerjakan yaaa …. Soalnya hampir satu bulan ini aku hiatus menulis. Sebenernya part ini udah selesai aku tulis ulang beberapa bulan lalu loh, cuma suka males ngirim hihii ….

 

 

 

Catatan Admin :

Erase kembali hadir dengan part 2. Mmmhhh … konflik sepertinya akan dimulai. Apa yang akan terjadi dengan pernikahan mereka? Apa foto Yonghwa dan Hara akan muncul di surat kabar? Apa Shinhye akan amnesia? (tebakan asal hahaha ^_^v). Terima kasih Tifa sudah mengirim lanjutannya, maafkan baru sempat mengedit dan menerbitkan. Ditunggu part selanjutnya ya 🙂

Ah, ya CNBLUE kembali hadir dengan mini album baru dengan lagu Between Us. Hayo siapa yang belum dengerin? Yuk dukung CNBLUE dengan melihat MV di official Youtube CNBLUE dan membeli album baru mereka.

Ini ya link MV-nya Between Us

Ada grup WhatsApp khusus pembaca web ini sebagai ajang berbagi dan silaturahim, bila ingin bergabung sila hubungi Lisna di nomor 0821-8593-4742.

Selamat membaca dan jangan lupa komentar, saran dan kritiknya. Terima kasih

PS. Update postingan FF di web bisa dilihat di facebook HS Corner Shop atau di twitter Lovetheangels1

63 thoughts on “[FF Indonesia] Erase (Part 2)

  1. Saat yongshin sdh mulai jatuh cinta..knp selalu ada halangan apalagi shinhye kecelakaan…dan hara sdh merusak moment yongshin😡😡..fighting thor

    Like

  2. Aduhhh shin hye jangan sampai berbuat nekat..
    Ya ampunn..
    Aku jafi deg degkan ni…
    Mext part

    Like

  3. Syukurlah yh oppa mau mngakhiri ma hara..
    Tpi ad pa dgan shinhye eonni oh tidaakkk eon jgan prgi mkn ksni mkn trgis aja
    Next part

    Like

  4. Syukurlah yh oppa mau mngakhiri ma hara..
    Tpi ad pa dgan shinhye eonni oh tidaakkk eon jgan prgi mkn ksni mkn trgis aja
    Next part

    Like

  5. Saat benih2 cinta udah mulai tumbuh,konflik pun datang…shin hye menjadi pihak yg tersakiti lagi,smoga yong hwa sgra mengakhri kekeliruannya bersama aktris itu

    Like

  6. syedih deh… kenapa orang baik selalu mendapatkan terlalu banyak sakit…
    gini nih kalo dari awal g punya sikap tegas, yonghwa bakal menyesal…
    kalo dilihat dr judulnya ama end partnya sih mungkin yg dilakukan shinhye sekarang adalah menghapus rasa sakitnya…

    Like

  7. Apa yang akan terjadi dg Shinhye..😥
    Hara sungguh menyebalkan. Dy sedang memainkan perannya jadi ular berbisa.
    Poor Yonghwa…😣😣

    Like

  8. Goo hara yg licik
    Yonghwa yg baik hati
    Dan shinhye yg rapuh
    Siapa yg menyangka ketika cinta menyapa sanggup membuat shinhye ingin menghilangkan nyawanya ketika itu tidak lagi indah
    Sayang sekali shinhye, padahal kau indah dan pintar

    Like

  9. aduh shinhye jangan gitu dong, padahal yonghwanya niat mutusin si hara. konfliknya makin seru

    Like

Leave a comment